Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Pradnyawati

Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Periode 2016-2021

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Mengamanatkan Kebijakan Larangan Ekspor-Impor

Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO (menjadi anggota GATT sejak tahun 1950) dan aktif dalam perundingan Uruguay Round yang berlangsung pada tahun
Penambangan bauksit./Bisnis.com
Penambangan bauksit./Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah Indonesia akan memberlakukan larangan ekspor bijih bauksit serta mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri.

Kebijakan tersebut akan mulai berlaku pada Juni 2023. Presiden juga menegaskan kembali komitmen pemerintah Indonesia untuk terus meningkatkan industri pengolahan sumber daya alam di dalam negeri, mulai dari pengurangan ekspor bahan mentah dan meningkatkan pengjiliran industri berbasis sumber daya alam di dalam negeri.

Tidak ada yang salah dengan sikap Pemerintah untuk secara konsisten melakukan hilirisasi di dalam negeri agar nilai tambah dapat dinikmati untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

Namun, karena Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO (menjadi anggota GATT sejak tahun 1950) dan aktif dalam perundingan Uruguay Round yang berlangsung pada tahun 1986—1994 maka ada baiknya juga kita memperhatikan hak dan kewajiban konstitusional Indonesia karena Pemerintah telah meratifikasi Agreement on Establishing the World Trade Organization melalui UU No. 7 Tahun 1994. UU ini, dengan demikian, menjadi dasar hukum komitmen Indonesia di WTO karena sejak 1994 semua aturan WTO menjadi bagian dari aturan perundangan Republik Indonesia.

HAK DAN KEWAJIBAN

Hak dasar Indonesia sebagai negara anggota WTO adalah, pertama, memperoleh akses pasar yang lebih terbuka dan mempertahankan akses pasar melalui proses penyelesaian sengketa jika kepentingan ekspor Indonesia terganggu akibat kebijakan negara mitra dagang.

Kedua, melakukan perlindungan pasar domestik antara lain melalui penerapan instrumen trade remedi. Ketiga, mempertanyakan kebijakan negara anggota yang merugikan kepentingan nasional, dan keempat, berpartisipasi aktif dalam proses pembuatan peraturan/ketentuan WTO pada berbagai komite di Jenewa.

Sebaliknya sebagai anggota WTO Indonesia juga memiliki beberapa kewajiban diantaranya (1) menyelaraskan aturan perdagangan nasional dengan aturan di WTO; (2) berpartisipasi aktif di WTO untuk menegakkan dan menyempurnakan aturan perdagangan multilateral, (3) melaksanakan azas transparansi untuk kebijakan/aturan perdagangan nasional yang berdampak pada perdagangan internasional, dan (4) melaksanakan berbagai komitmen Indonesia di WTO lainnya.

KETENTUAN PASAL XI

Ketentuan ini secara umum melarang kebijakan pelarangan dan/atau pembatasan (“lartas”) impor dan ekspor negara anggota. Dasar pertimbangannya adalah dampak lartas tersebut akan sangat signifikan terhadap keseimbangan global supply and demand dan harga internasional komoditas tersebut dan mendistorsi kelancaran arus perdagangan internasional.

Ayat 1 Pasal XI tersebut menetapkan bahwa lartas impor dan ekspor barang tidak dibenarkan menggunakan instrumen kuota, lisensi impor atau ekspor atau tindakan lain, melainkan hanya boleh dilakukan melalui instrumen bea masuk, pajak, atau pungutan lain.

Meskipun demikian, terdapat beberapa pasal pengecualian dari Pasal XI GATT 1994 yang mengizinkan penggunaan opsi lartas kuantitatif dalam kondisi tertentu. Kondisi tersebut diantaranya terkait dengan kondisi (1) pencegahan/pemulihan kondisi kritis karena kekurangan bahan makanan atau produk esensial lain; (2) pembatasan untuk menjaga neraca pembayaran; (3) perlindungan terhadap moral publik atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan; (4) tindakan yang terkait dengan konservasi lingkungan; (5) tindakan untuk melindungi kepentingan keamanan, (6) pembatasan kuantitatif untuk pengembangan industri tertentu pada tahap awal pembangunan ekonomi; dan (7) pembatasan kuantitatif guna mencegah peningkatan impor secara tiba-tiba yang menyebabkan kerugian serius bagi produsen di dalam negeri.

Kebijakan lartas yang sampai hari ini diijinkan bagi negara anggota WTO adalah dalam hal perdagangan bahan nuklir, obat-obatan narkotika, senjata, dan beberapa kebijakan perlindungan lingkungan. Lartas ini didasari oleh Protokol Montreal tentang bahan-bahan yang merusak lapisan ozon atau Konvensi CITES untuk melindungi perdagangan spesies yang terancam punah.

KONSEKUENSI

Pelajaran mahal yang pernah kita alami adalah kekalahan Indonesia di WTO dalam sengketa larangan impor produk hortikultura dan larangan ekspor produk bijih nikel. Pembelajaran yang dapat kita petik dari kekalahan tersebut adalah, pertama, diperlukan analisis “WTO compliance” dalam tahapan perumusan rancangan kebijakan yang bernuansa lartas sebelum ia menjadi regulasi. Termasuk memastikan bahwa konsideransnya memuat ketentuan-ketentuan pengecualian di atas dan penggunaan jargon yang “WTO-friendly”.

Kedua, kebijakan lartas impor acapkali memiliki efek distortif untuk sektor manufaktur di dalam negeri yang masih membutuhkan input industri berupa komponen bahan baku/bahan pendukung karena ia menciptakan ekonomi biaya tinggi.

Ketiga, kebijakan larangan ekspor dalam waktu dekat mungkin akan mencapai tujuan, tetapi dalam jangka waktu menengah-panjang akan berefek kontra produktif.

Larangan ekspor bahan baku minyak goreng di masa lalu, misalnya, mengakibatkan (1) turunnya devisa hasil ekspor sawit, (2) kondisi “oversupply” produksi sawit di dalam negeri dan jatuhnya harga tandan buah segar sawit, (3) pengurangan produksi CPO dan minyak goreng karena kapasitas tangki timbun terbatas, (4) negara importir utama mempermasalahkan kebijakan tersebut dan nyaris memicu gugatan/tindakan retaliasi, serta (5) pembayaran insentif untuk produksi biodiesel dalam rangka program nasional B20 terganggu.

Akhirnya, apabila untuk alasan penghiliran Indonesia akan menerapkan kebijakan yang bernuansa pembatasan kuantitatif, maka pemerintah harus memastikan bahwa pembatasan dimaksud dapat dijustifikasi oleh pasal-pasal pengecualian GATT/WTO dan dilaksanakan dengan cara yang tidak diskriminatif karena kebijakan lartas ekspor-impor sejatinya diperbolehkan sepanjang ia memiliki target yang jelas, bersifat sementara, dan memenuhi azas transparansi dalam pelaksanaannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Pradnyawati
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper