Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Ardhienus

Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia

Ardhienus adalah Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan di Bank Indonesia

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Pandemi Berakhir, Terbitlah Inflasi

Pandemi masih menyisakan luka memar (scarring effect) pada beberapa korporasi. Kegiatan ekonomi mulai menuju pemulihan.
Suasana deretan gedung bertingkat di Jakarta, Minggu (6/3/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Suasana deretan gedung bertingkat di Jakarta, Minggu (6/3/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi Covid-19 sempat membuat deru mesin ekonomi Indonesia melemah hingga akhirnya masuk jurang resesi pada kuartal ketiga 2020. Namun, sinergi kebijakan dan penanganan pandemi Covid-19 membuat ekonomi bergeliat.

Merujuk data Biro Pusat Statistik, hingga kuartal pertama 2022 ekonomi tumbuh 5,01 persen secara tahunan. Capaian tersebut memang lebih baik ketimbang Maret 2021 yang minus 0,7 persen, tetapi terkontraksi 0,96 persen ketimbang kuartal IV/2021.

Kendati bergerak positif dan kondisi pandemi mulai mengarah pada endemi, kegiatan ekonomi sejatinya belum sepenuhnya pulih. Pandemi masih menyisakan luka memar (scarring effect) pada beberapa korporasi, terutama pada sektor ekonomi yang mengandalkan mobilitas masyarakat dan berorientasi pasar domestik seperti sektor transportasi, hotel dan restoran.

Begitu pula sektor rumah tangga, khususnya pekerja sektor informal dan kurang terampil yang mengalami peningkatan pemutusan hubungan kerja akibat merosotnya produktivitas dunia usaha selama pandemi. Luka memar tersebut pada akhirnya berimbas pada degradasi kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit dan peningkatan risiko pemburukan kualitas kredit.

Di sisi lain, ancaman terhadap laju gerak ekonomi Indonesia mulai berubah haluan dari pandemi ke inflasi sebagaimana dengan berbagai negara lainnya yang telah lebih dulu menghadapi inflasi yang tinggi seperti Amerika Serikat, Inggris dan China. Peningkatan inflasi itu pada mulanya dipicu ketidakseimbangan antara permintaan yang melesat lebih cepat ketimbang produksi barang yang tersendat akibat banyaknya pengurangan tenaga kerja seiring penutupan pabrik guna meredam pandemi.

Namun, seiring meletusnya konflik Rusia dan Ukraina pada akhir Februari 2022, ancaman inflasi pada pertumbuhan ekonomi kian meninggi. Hal ini tidak lepas dari peran kedua negara tersebut yang merupakan salah satu produsen terbesar energi berupa minyak dan gas serta bahan pangan dunia seperti gandum dan jagung. Konflik tersebut meningkatkan harga energi, pangan, dan biaya distribusi.

Inflasi di Indonesia sendiri memang masih lebih rendah dari negara-negara maju dan dalam kisaran target 3,0±1 persen pada 2022. Namun, tingkat inflasi itu terpantau mulai merangkak naik secara perlahan sejak Juli 2021.

Pada April 2022, inflasi secara month-to-month telah mencapai 0,95 persen, meningkat dari inflasi Maret yang mencapai 0,66 persen. Sementara secara tahunan, inflasi April 2022 telah mencapai 3,47 persen, meningkat dibandingkan dengan inflasi Maret 2022 yang mencapai 2,64 persen.

Sama halnya dengan pandemi, kenaikan inflasi pada level yang tinggi akan memaparkan risiko kepada sektor perbankan berupa risiko kredit dan likuiditas. Melonjaknya harga barang akan mendorong masyarakat mengutamakan kebutuhan pokok terlebih dahulu sebelum membayar kewajibannya kepada perbankan. Alhasil, kapasitas membayar utang kepada bank kian menurun.

Sementara bagi korporasi, inflasi yang tinggi akan berdampak pada penurunan penjualan karena tidak terjangkau oleh konsumen sehingga kemampuan korporasi dalam membayar kewajiban kepada bank juga menurun. Kondisi ini berimbas pula pada penurunan produksi sehingga korporasi akan mengurangi permintaan kredit dari bank.

Inflasi tinggi juga akan menggerus dana yang tersimpan di bank. Karena menyimpan uang di bank sudah tidak menarik lagi akibat nilai uang secara riil yang kian mengecil. Pendek kata, bila inflasi itu tidak dikendalikan, maka dampaknya berpotensi memicu instabilitas sistem keuangan.

Sinergi Kebijakan

Merespons kondisi itu, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan strategis guna meredam inflasi dengan tetap menjaga keberlangsungan pemulihan ekonomi. Pemerintah memutuskan untuk menggerek anggaran subsidi energi dan kompensasi BBM dan listrik dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun atau meningkat 299,44 persen.

Untungnya penerimaan negara juga melonjak akibat membumbungnya harga komoditas sehingga dapat mendanai sebagian besar dari pembengkakan subsidi energi dan kompensasi tersebut. Dengan begitu, kenaikan inflasi dari harga yang diatur pemerintah (administered prices) akan terbatas sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga.

Langkah pemerintah itu memberi ruang pada BI untuk menahan suku bunga acuan BI7DRR pada level 3,5 persen sebagaimana keputusan Rapat Dewan Gubernur 23—24 Mei 2022. BI memang perlu menjaga suku bunga pada level rendah agar dapat terus mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.

Sebagai bagian dari bauran kebijakan, BI menormalisasi kebijakan likuiditas melalui peningkatan giro wajib minimum (GWM) secara bertahap hingga mencapai 9 persen untuk bank konvensional dan 7,5 persen untuk bank syariah.

Selain itu, sinergi pemerintah pusat dan BI, termasuk dengan pemerintah daerah melalui tim pengendali inflasi pusat/daerah (TPIP/D) juga menjadi kunci dalam mengendalikan inflasi tanpa perlu meninggalkan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ardhienus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper