Bisnis.com, NUSA DUA — Penurunan biaya remitansi atau transfer valas akan didorong sebagai salah satu isu utama dalam konferensi kelompok masyarakat sipil, Civil 20 atau C20. Penurunan biaya remitansi dinilai dapat mendukung kesejahteraan pekerja migran.
Sherpa C20 Indonesia yang juga menjabat Direktur Eksekutif The Prakarsa Ah Maftuchan menjelaskan biaya remitansi merupakan isu yang menjadi kepentingan negara-negara berkembang di G20. Karena itu, peranan Indonesia sebagai Presidensi G20 sangat penting untuk mendorong isu tersebut.
Saat ini rata-rata biaya remitansi secara global adalah 6 persen, dengan beberapa negara memiliki biaya sangat tinggi, seperti Australia 12 persen. Maftuchan menilai bahwa besaran biaya itu cukup memberatkan bagi negara-negara berkembang, khususnya bagi para pekerja migran.
"Kami meminta maksimal 3 persen biaya pengiriman remitansi pekerja migran di luar negeri. Nanti ini bisa berlaku global, pekerja negara lain juga bisa follow konsensus ini," ujar Maftuchan usai gelaran C20 kick off ceremony & meeting di Bali, Senin (7/3/2022) petang.
Menurutnya, turunnya biaya remitansi dapat membuat pekerja memiliki lebih banyak dana sehingga dapat menyalurkannya kepada keluarga di negara asal. Selain itu, ketika pekerja migran kembali ke kampung halamannya, dia akan memiliki dana lebih banyak untuk kegiatan produktif.
Maftuchan pun menjelaskan bahwa besaran biaya remitansi 3 persen, sesuai permintaan C20, sebenarnya sudah menjadi kesempahaman bersama di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya di SDGs. Sayangnya, realisasinya belum optimal.
Menurutnya, penting bagi negara-negara G20 untuk merealisasikan usulan penurunan biaya remitansi yang menjadi pembahasan lebih awal di forum C20. Hal tersebut agar G20 menjalankan komitmennya terhadap kesepakatan PBB, yakni biaya remitansi menjadi 3 persen.
"G20 kan konsensus, gentle agreement, karena ini limited group maka kalau tidak mengerjakan jadi malu. Kira-kira ke sana arahnya [kenapa C20 mendorong penurunan biaya remitansi]," ujar Maftuchan.