Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah mendorong kontraktor industri hulu migas atau KKKS untuk mempercepat penerapan teknologi Migas Non-Konvensional (MNK) untuk meningkatkan produksi migas nasional hingga sebesar 1 juta BOPD minyak bumi dan 12 BSCFD gas alam pada 2030.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 35 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.
Hal tersebut dilakukan supaya pelaksanaan Penawaran Wilayah Kerja Migas dapat berlangsung lebih baik di masa mendatang, transparan dalam setiap prosesnya sehingga stabilitas tercapai iklim industri dan investasi migas.
Permen ESDM No. 35/2021 ditetapkan 22 Desember 2021 dan diundangkan 30 Desember 2021 mengatur tata cara penyiapan dan penawaran wilayah kerja (WK) Migas, termasuk Migas non konvensional (MNK).
Terdapat berbagai jenis sumber minyak non konvensional salah satunya adalah heavy oil yang merupakan minyak yang mempunyai nilai API kurang dari 22 persen dan nilai viskositas yang sangat rendah sehingga minyak berwujud sangat kental. Hal ini menyebabkan heavy oil sulit di-lifting sehingga sulit diproduksi, sehingga diperlukan teknologi tinggi seperti steam injector untuk mengangkatnya.
Selanjutnya ada oil sands adalah hasil percampuran antara pasir, bitumen, lempung dan air. Bitumen adalah minyak yang memiliki densitas dan viskositas tinggi serta telah mengalami biodegradasi.
Baca Juga
Sumber minyak non konvensional lainnya adalah oil shale atau yang disebut juga kerogen serpih (bitumen padat) adalah batuan sedimen berbutir halus yang mengandung yang mengandung sejumlah besar material organic yang spesifik, yaitu alginit dan/atau bituminit. Biasanya oil shale masih tersimpan di source rock dan belum matang disebut sebagai kerogen. Jika diekstraksi dengan dipanaskan (>550 °C) akan menghasilkan minyak yang mempunyai potensi ekonomis. Adapun penyebaran oil shale di Indonesia cukup luas dikarenakan batuan serpih menempati hampir seluruh wilayah Indonesia yang mempunyai karakteristik berbeda-beda.
Sementara itu, sumber gas non konvensional yang terdiri dari Coal Bed Methane, Shale Gas, Tight Gas dan Gas Hydrate. Tight Gas memiliki nilai permeabilitas yang sangat rendah, sehingga tidak terjadi migrasi gas ke batuan reservoir dan perlu teknologi seperti Perforation dan Fractu ring untuk memproduksi gasnya.
Selanjutnya Shale Gas merupakan gas yang terperangkap di shale sebagai gas bebas dan mengisi pori-pori atau rekahan yang tersimpan di fragmen organic.
Sementara itu, Coal Bed Methane adalah gas yang tersimpan di dalam lapisan batubara, dipengaruhi oleh karakteristik batubaranya, jenis isian gas dan permeabilitasnya. Terakhir adalah gas hydrate, merupakan natural gas yang terperangkap pada air membeku dengan struktur yang solid, berwujud seperti salju atau kristal es.
Direktur Energy Watch, Mamit Setiawan, menyatakan meskipun Permen 35 Tahun 2021 telah diterbitkan pengembangan MNK di Indonesia belum berjalan maksimal.
“Pengembangan MNK saya kira saat ini seperti mati suri, belum ada perkembangan signifikan. Sehingga perlu terobosan dalam pengembangannya. Belum ada cerita sukses dari pengembangan WK MNK yang sudah berjalan. Program pengembangan CBM saat ini bahkan tidak ada progress dan cenderung tidak diminati. Begitu juga untuk potensi Non Konvensional lain seperti shale oil dan shale gas tidak ada sama sekali peminat,” papar Mamit.
Besarnya biaya investasi dan operasional minyak non konvensional mengakibatkan proyek ini tidak menarik minat investor.
“Tantangan terbesarnya ada pada keekonomiannya. Untuk memproduksi MNK jenis CBM, misalnya, perlu biaya investasi dan operasional yang sangat tinggi,” tandas Mamit.