Pada awal Oktober 2021 sempat ramai isu Teluk Jakarta terkontaminasi parasetamol. Bersumber dari hasil penelitian yang terbit pada jurnal bereputasi di Science Direct pada Agustus 2021, para peneliti menganalisis sampel air yang tercemar memiliki kandungan parasetamol di Angke dan Ancol. Sekilas ini terdengar aneh, bahkan langka.
Biasanya isu tercemarnya air laut disebabkan oleh tumpahan minyak atau limbah domestik seperti detergen. Bagamaina mungkin parasetamol mencemari Teluk Jakarta? Beberapa ahli berpendapat mengenai penyebabnya, yaitu antara lain pembuangan obat-obatan kedaluwarsa secara sembarangan dan instalasi pengelolaan air limbah yang tidak optimal.
Pada Senin, 8 November 2021, tim Dinas Lingkungan Hidup Pemprov Jakarta mengkonfirmasi hasil temuannya bahwa pembuangan limbah parasetamol ke Teluk Jakarta oleh salah satu pabrik farmasi sebagai penyebab pencemaran. Hasil ini tentu menjadi keprihatinan bersama karena beberapa alasan.
Pertama, regulasi industri farmasi yang mengatur tentang persyaratan pengelolaan limbah, termasuk pembuangannya sudah sangat banyak. Mulai dari persyaratan bahan baku, bahan kemas, proses pembuatan obat, penyimpanan dan sarana prasarananya telah diatur oleh ketentuan standar nasional.
Misalnya Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), ISO 14001 yang menentukan persyaratan untuk pendekatan manajemen yang terstruktur untuk perlindungan lingkungan, ketentuan tentang Instalasi Pengolahan Limbah Terpadu (IPLT), Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) serta regulator yang rutin melakukan pengawasan.
Kedua, isu ini muncul berbarengan dengan pelaksanaan KTT G20 dan Konferensi COP26. Pada KTT G20 di Roma topik yang dibahas antara lain perubahan iklim, energi, lingkungan hidup, serta pembangunan berkelanjutan.
Sementara pada Konferensi COP26 di Glasgow membahas tentang isu perubahan iklim di mana Pemerintah Indonesia juga mengambil bagian pada kedua event dunia tersebut dan ikut berkomitmen menjaga keseimbangan alam dan lingkungan agar lebih berkelanjutan di masa depan.
Sebenarnya isu tentang keberlanjutan telah mendapat perhatian yang luas dalam dua dekade ini. Terlepas dari berbagai definisi dan interpretasi yang beragam, pada akhir 1990-an muncul istilah triple bottom line yang mengacu pada metode untuk mengukur keberlanjutan dengan mengintegrasikan tiga dimensi keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial dengan tujuan mengarahkan pembangunan menuju ekonomi global yang berkelanjutan.
Dalam perkembangannya topik tentang ekonomi hijau, ekonomi sirkular, dan bioekonomi menjadi narasi populer dalam diskusi keberlanjutan tingkat makro dalam kebijakan, penelitian ilmiah, dan bisnis. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian mendorong sektor industri manufaktur bertransformasi ke arah pembangunan berkelanjutan.
Salah satu upayanya melalui implementasi konsep industri hijau, dengan penggunaan sumber daya yang eifisien, dapat didaur ulang, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Industri farmasi berperan dalam meneliti, mengembangkan, memproduksi, dan memasarkan obat-obatan farmasi, vaksin, dan perawatan untuk penyakit. Bertambahnya harapan hidup dan sistem layanan kesehatan yang lebih baik mendorong industri farmasi untuk semakin sadar akan kebutuhan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan sambil memberikan produk farmasi yang lebih luas.
Ketimpangan dalam akses terhadap obat-obatan dan perawatan, terutama di daerah-daerah pelosok dan polusi yang dihasilkan oleh obat-obatan di seluruh siklus hidup produk merupakan beberapa tantangan dalam industri farmasi yang menuntut refleksi tentang bagaimana mengubah proses bisnis dan tatakelolanya dalam menjalankan bisnis.
Pertanyaannya, apa dan bagaimana keberlanjutan pada industri farmasi? Evolusi industri farmasi telah berdampak pada kehidupan masyarakat, baik karena telah berkontribusi untuk menghasilkan kesejahteraan dalam hal kesehatan dan kualitas hidup individu dan merupakan salah satu sektor yang paling relevan bagi perekonomian di tingkat global.
Menurut data Kementerian Investasi hingga 2021, terdapat 241 industri farmasi dengan nilai pasar farmasi diprediksi Rp141,6 triliun. Angka-angka ini mencerminkan bahwa sektor farmasi merupakan salah satu penopang perekonomian dan kesehatan nasional, terutama di era pandemi Covid-19. Oleh karena itu, isu keberlanjutan industri farmasi patut mendapat perhatian yang besar dari konsumen, pembuat kebijakan, dan pelaku industri.
Praktik keberlanjutan antara lain meliputi pengembangan sistem delivery baru, produk baru yang menimbulkan risiko lingkungan yang lebih rendah, pengolahan serta daur ulang limbah, pengurangan penggunaan air, metode manufaktur yang lebih ramah lingkungan, dan kemasan yang dapat didaur ulang telah menjadi isu krusial untuk dikelola.
Tercemarnya Teluk Jakarta harus menjadi pembelajaran dan diperlukan tindakan korektif dari seluruh stakeholder serta mendorong untuk transformasi keberlanjutan dengan implementasi praktis melalui strategi, pemantauan, dalam pengambilan keputusan di sektor publik dan swasta, termasuk industri farmasi.
Selanjutnya, penanganan keberlanjutan harus berjalan secara efektif dan komprehensif dengan adanya kombinasi dimensi makro pembangunan berkelanjutan kesehatan yang diupayakan oleh pelaku stakeholder di tingkat pemerintahan serta di tingkat mikro pada masing-masing perusahaan.