Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian menilai masih perlu memacu pertumbuhan pasar obat tradisional di Indonesia dengan meningkatkan kualitas dan daya saing produk, serta menerapkan strategi pemasaran yang tepat.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Muhammad Khayam mengatakan peluang pasar produk obat tradisional dan obat herbal, paling tidak di wilayah Asia, masih terbuka lebar.
“Keunggulan yang dimiliki industri jamu, antara lain tersedianya bahan baku di Tanah Air yang sangat melimpah,” katanya melalui siaran pers, Senin (21/12/2020).
Menurutnya, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbanyak di dunia, seperti jahe, lempuyang, pala, dan nilam. Bahan baku tersebut merupakan modal utama dalam upaya membangun kemandirian untuk memproduksi obat.
Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) tahun 2020, terdapat 129 industri obat tradisional, dengan 22 perusahaan yang telah memproduksi obat herbal terstandar (OHT). Lima perusahaan di antaranya telah mengembangkan fitofarmaka. Selebihnya, tergolong dalam industri ekstrak bahan alam.
"Saat ini, yang telah terdaftar di Badan POM sekitar 11 ribu produk jamu, tetapi yang merupakan produk OMAI sejumlah 23 produk fitofarmaka dan 69 OHT," ujar Khayam.
Baca Juga
Dengan potensi yang begitu besar, Kemenperin menyusun draf Rencana Aksi Pengembangan Industri Fitofarmaka, yang diharapkan menjadi panduan industri farmasi agar mampu secara mandiri menghasilkan obat untuk kebutuhan nasional yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan manfaat, terjangkau oleh masyarakat.
Khayam menilai pengembangan OMAI membutuhkan sinergi dari semua pemangku kepentingan, mulai dari petani yang menghasilkan bahan baku yang bagus dan terstandar, peneliti, pelaku industri, pemangku kepentingan hingga masyarakat sebagai konsumen.
Oleh karena itu, langkah strategis yang perlu dilakukan adalah pengembangan bahan baku obat dalam negeri. Ini merupakan salah satu upaya untuk menjaga ketahanan nasional di bidang obat. “Pandemi ini mengajarkan bahwa akan sangat riskan bagi suatu negara sebesar Indonesia apabila membiarkan ketergantungan industri farmasi dalam negeri terhadap bahan baku obat impor,” ungkapnya.
Salah satu kebijakan yang perlu dilaksanakan adalah pengembangan industri bahan baku obat dengan memperkuat struktur manufaktur industri farmasi di dalam negeri, antara lain dengan memacu kegiatan riset untuk menciptakan inovasi produk industri farmasi di sektor hulu atau produsen bahan baku.
“Dengan terintegrasinya sektor hulu dan hilir, nilai tambah produk farmasi akan semakin meningkat. Selain itu, pengembangan sektor hulu juga mendukung substitusi impor bahan baku yang dapat menekan defisit neraca dagang di sektor industri farmasi,” paparnya.
Guna menarik investasi di sektor tersebut, pemerintah memberikan fasilitas bagi pemodal di Indonesia baik insentif fiskal maupun nonfiskal. Pemerintah akan memberikan dukungan fiskal terhadap pertumbuhan industri farmasi melalui tax allowance, tax holiday, serta super tax deduction, bagi industri yang terlibat dalam program vokasi dan inovasi melalui kegiatan riset.
Adapun insentif nonfiskal, di antaranya adalah program pelatihan dan sertifikasi SDM, penerapan Objek Vital Nasional Sektor Industri (OVNI), sertifikasi standar dan kegiatan litbang bagi industri kecil menengah (IKM), pembangunan infrastruktur industri, dukungan promosi, serta konsultasi bantuan hukum dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).