Bisnis.com, JAKARTA – Jelang Hari Tani Nasional yang jatuh tiap 24 September, berbagai persoalan sektor pertanian kembali mengemuka. Mayoritas persoalan terbilang klise, karena tak pernah mendapatkan solusi komprehensif.
Walau Indonesia dikenal sebagai wilayah dengan kesuburan tanah dan iklim tropis yang menjanjikan bagi produksi hasil pertanian, menjadi petani bukanlah perkara mudah.
Pelaku pertanian senantiasa dibuat limbung dengan ancaman ganas berupa gagal panen, anjloknya harga akibat banjir komoditas impor, hingga tren konsumsi yang terus bergeser.
Esok, pada 24 September merupakan Peringatan Hari Tani Nasional. Sebagaimana kenyataan hingga sekarang, sektor pertanian masih berperan sebagai penyerap tenaga kerja sektor informal paling besar.
“Sayangnya menjadi petani harus siap dengan segala ketidakpastian,” kata Direktur Pasar Komoditi Nasional (Paskomnas) Soekam Parwadi, Senin (23/9/2019).
Keunggulan komparatif seperti iklim tropis dan kegemburan tanah yang membuat Indonesia mampu memproduksi komoditas ekspor seakan terbuang sia-sia.
Menurut Soekam, sejak dulu hingga kini sektor pertanian masih dijalankan secara tradisional.
“Modernisasi pertanian yang membuat kita kalah dengan petani negara-negara maju. Bahkan kalah dari Vietnam,” ujarnya.
Merujuk istilah tradisional, pertanian saat ini tidak dijalankan dengan manajerial yang profesional. Hal tersebut bisa ditandakan dengan ketiadaan informasi pasar yang akurat, peralatan pertanian memadai, luasan lahan, dan perlengkapan mengelola stok.
Hal itu membuat harga anjlok saat panen melimpah, dan gagal panen yang menimpa para petani. “Sebenarnya pasar itu mengharapkan berbagai komoditas yang spesifik jenisnya, kualifikasinya, serta pasokan yang terjamin. Hal itu tidak bisa dilakukan secara tradisional, melainkan harus profesional, ada manajerial,” tambah Soekam.
Persoalannya, hingga kini dorongan untuk menjadikan sektor pertanian dari praktik tradisional ke arah yang lebih profesional masih berliku. Sebut saja era Orde Baru, di mana pemerintah mendorong kelahiran sistem pengelolaan pertanian berbasis unit desa pun ikut gagal.
Pada era Presiden Soeharto, setiap desa dengan agronomik serupa diciptakan unit desa dengan luasan 1.000 hektare—3.000 hektare, lengkap dengan institusi koperasi, penyuluh pertanian, hingga perbankan. “Sebenarnya itu ideal, tetapi karena moral pelaksananya rendah pun gagal. Jadi banyak korupsi,” katanya.
Kondisi tersebut tak beranjak hingga sekarang. Soekam menilai meski terdapat kementerian teknis yang menangani pertanian, hingga kewenangan pemerintah daerah dan perangkat dinasnya belum mampu mewujudkan perekonomian berbasis pertanian.
“Banyak Bupati dan kepala daerah dengan basis masyarakat petani juga tidak paham pertanian. Hampir semua kelembagaan teknis juga jadi birokrat pertanian, tidak paham memajukannya,” kata Soekam.