Bisnis.com, JAKARTA – Berbagai celah dalam kebijakan tarif cukai rokok berpotensi merugikan negara. Pemerintah didorong untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan ini.
"Harus ada perbaikan-perbaikan aturan karena itu menyangkut kepentingan publik. Pemasukan negara daei cukai harus maksumal untuk pembiayaan-pembiayaan bagi kepentingan masyarakat,"tegas Pemerhati Kebijakan Publik Agus Wahyudin di Jakarta Senin (9/9/2019).
Dia menilai, pemerintah perlu melakukan penelitian dan investigasi mengenai potensi kebocoran dalam penerimaan cukai. "Pemerintah perlu melakukan investigasi dengan melibatkan pihak berwenang. Hal itu tentunya juga akan mempersempit ruang bagi pihak-pihak yang akan berlaku curang," tegasnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata Agus, perlu dilibatkan untuk melakukan kajian dan rekomendasi kepada pemerintah terkait dengan struktur tarif cukai rokok.
Struktur tarif cukai rokok saat ini dinilai memiliki banyak celah yang menyebabkan pendapatan negara tidak optimal. Salah satunya akibat perusahaan rokok besar yang masih bisa membayar cukai rokok yang lebih murah.
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta Mukhaer Pakkanna menyatakan indikasi intervensi industri dalam penetapan tarif cukai rokok sudah sangat kasat mata. “Produk (intervensi) nya sudah ada dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Peraturan Menteri Perindustrian,” kata Mukhaer di sela acara diskusi Polemik Simplifikasi Cukai Rokok, Potensi Penerimaan Negara dan Kesehatan Masyarakat.
Dia menilai, selama ini Komisi Antikorupsi menjadi lembaga yang kompeten memberikan rekomendasi serta berpengalaman dalam hal upaya pencegahan korupsi. Oleh karenanya, peran KPK dalam mencegah potensi kehilangan penerimaan negara sangat diperlukan.
Menurut Mukhaer, kebijakan terkait rokok melibatkan banyak kepentingan lembaga dan kementerian. Di antara kementerian yang terlibat adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kesehatan.
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia Abdillah Ahsan, menilai, KPK perlu membuat kajian tentang kebijakan struktur tarif cukai rokok untuk mengukur peluang penerimaan negara. Kebijakan saat ini tidak efisien dan tidak konsisten dalam hal pengendalian konsumsi dan optimalisasi potensi penerimaan negara.
Dia mencontohkan, dari penyederhanaan golongan tarif saja, penerimaan negara seharusnya bisa bertambah hingga Rp 7,4 triliun per tahun. “Jumlah ini sangat banyak. KPK semangat mengadakan OTT untuk kasus-kasus Rp5 miliar, ini ada potensi hilang Rp 7,4 triliun karena kebijakan yang tidak efisien,” tegas Abdillah.
Padahal, dana tersebut bisa digunakan untuk membiayai pembangunan baik infrastruktur maupun sumberdaya manusia. Abdillah berharap keterlibatan KPK dalam kajian kebijakan tarif cukai rokok mampu mendorong pemerintah membuat kebijakan yang berkeadilan.
Saat ini, kebijakan tarif cukai rokok diatur oleh PMK 146/2017 yang lantas direvisi menjadi PMK 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Berbagai kajian menunjukkan ketentuan tersebut memiliki celah yang bisa dimanfaatkan industri rokok besar untuk membayar tarif cukai pada golongan rendah. Akibatnya, penerimaan negara tidak optimal.