Bisnis.com, JAKARTA -- Potensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian untuk digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) tampaknya cukup besar jika jadi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Publik pun seperti mengalami déja vu ketika UU serupa dibatalkan seluruhnya pada 2014.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto masih ingat betul ketika pada 28 Mei 2014, MK memutuskan pembatalan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian sepenuhnya.
Ketika itu, para penggugat menganggap putusan itu merupakan kemenangan historis dan tidak disangka-sangka. Pasalnya, proses pembuatan UU yang membutuhkan akan waktu lebih dari 12 tahun serta menghabiskan dana ratusan miliar dari APBN, menguap begitu saja akibat penyusunan UU yang dinilai sejumlah pihak sarat dengan kepentingan kelompok tertentu dan tidak merepresentasikan kepentingan gerakan koperasi sejati.
“Kami melakukan konsolidasi yang panjang untuk membedah UU itu sebelum meminta uji materi ke MK,” tutur Suroto, Rabu (7/8/2019).
Menurut para hakim konstitusi, UU ini bertentangan dengan UUD 1945 secara fundamental karena dianggap telah mencabut asas kekeluargaan dan demokrasi dalam koperasi.
Baca Juga
Petugas keamanan melintas di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (23/5/2019)./ANTARA-Hafidz Mubarak A.
Putusan ini sejalan dengan analisis para aktivis selaku penggugat yang menilai bahwa koperasi merupakan perkumpulan orang (people-based association), sedangkan pengertian koperasi menurut UU 17/2012 diterjemahkan dalam basis pengertian sebagai asosiasi berbasis modal (capital-based association) yang berarti tidak ada bedanya dengan model perusahaan swasta kapitalistik.
Yang termasuk para penggugat adalah koalisi yang terdiri atas LBH Jakarta, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi, Koperasi Karya Insani, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil, Yayasan Bina Desa Sadawija, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita, Bina Swadaya, dan Kapal Perempuan.
“Kita pahami bahwa koperasi itu adalah organisasi yang berbasis pada orang, bukan asosiasi berbasis pada modal. Justru karena perbedaan ini, koperasi diakui eksistensinya dan diakui secara resmi. Kita dapat lihat dari pengakuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menganggap koperasi itu telah berkontribusi nyata dalam pembangunan sosial-ekonomi masyarakat. Kemudian, oleh Sidang Umum PBB pada 19 Desember 2009 ditetapkan bahwa 2012 merupakan tahun koperasi internasional,” jelas Suroto.
Lantaran UU tersebut dibatalkan seluruhnya oleh MK, guna mengisi kekosongan hukum maka diberlakukanlah UU lama, yakni UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Kemudian, pemerintah menyiapkan Rancangan UU (RUU) baru sejak 2016 dan sudah disiapkan untuk disahkan oleh DPR.
Rupanya, RUU ini kembali membangkitkan kegeraman para aktivis perkoperasian yang dulu pernah menggugat di MK.
“Kami sudah mobilisasi dan sosialisasi di gerakan credit union dan yang terakhir kami minta YLBHI untuk buat diskusi publik pada 27 Agustus 2019,” paparnya.
Keresahan yang dirasakan oleh para aktivis dan pengamat koperasi ini bukannya tidak beralasan. Ada sejumlah alasan yang menyembul dalam beberapa diskusi mengenai RUU tersebut.
Sebagian aktivis koperasi memberikan penilaian kritis terhadap draf ini. Misalnya, dalam pembukaan RUU, memang telah mengakomodasi pentingnya demokratisasi ekonomi dalam konteks tren global. Tetapi, mukadimah ini dinilai belum menggambarkan pentingnya pernyataan identitas koperasi seperti yang diadopsi oleh kongres badan koperasi dunia, International Co-operative Alliance (ICA), pada 1995.
Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia HAM Nurdin Halid, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membuka puncak acara peringatan Hari Koperasi Nasional 2019 di Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat (12/7/2019)./ANTARA-Idhad Zakaria
Meskipun demikian, draf ini menyebutkan definisi universal, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip koperasi, termasuk penggabungan kearifan lokal seperti nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong.
Poin kritis lainnya yakni jumlah minimum anggota untuk membentuk koperasi telah dikurangi dari 20 orang menjadi 9 orang, yang tercantum dalam Pasal 10. Namun, tidak ada penjelasan mengapa harus 9 orang karena koperasi sebenarnya dapat dibentuk oleh minimal 3 orang.
“Terminologi surplus dan defisit, serta untung dan rugi, juga secara keliru digunakan untuk menggarisbawahi substansi pendapatan tak terbagi dan penggunaan dana cadangan,” urai Suroto.
Dia mengatakan hal ini tercantum dalam Pasal 59.
Poin lain, dan tampaknya menjadi yang paling seru, adalah penetapan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai wadah tunggal untuk gerakan koperasi. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang tercantum dalam Pasal 1.
Langkah lainnya yang juga dipandang fatal adalah memasukkan bab khusus tentang Dekopin, yakni di Pasal 82 hingga Pasal 89.
Keberadaan Dekopin, yang dipimpin mantan Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Nurdin Halid, pun sebenarnya sudah digugat sejak lama. Bahkan, sempat ada petisi di laman Change.org, yang meminta Dekopin tidak dimasukkan sebagai Lembaga Non Struktural (LNS) pemerintah yang dikucuri APBN.
Petisi tersebut dibuat oleh Firdaus Putra dan muncul pada Juni 2016, dengan judul "Hemat APBN, Cabut Status Dekopin sebagai LNS!". Kini, petisi itu sudah ditutup.
LNS memang bisa dibentuk oleh pemerintah berdasarkan aturan perundang-undangan. Dengan status LNS, Dekopin dapat menerima dukungan pembiayaan dari APBN.
Padahal, jika melacak sejarahnya, Dekopin adalah organisasi masyarakat (ormas) yang dibentuk oleh elemen gerakan koperasi di Tasikmalaya, Jawa Barat pada 1947.
Gubernur Banten Wahidin Halim melihat cendera mata jam tangan dari kayu produk UKM saat peringatan ke-72 Hari Koperasi di Kawasan Wisata Religi Banten Lama, di Kasemen, Serang, Kamis (25/7/2019)./ANTARA FOTO-Asep Fathulrahman
“Status LNS itu sebenarnya sangat problematis apabila dilekatkan kepada Dekopin. Hal itu berarti juga bahwa negara telah mengkooptasi independensi suatu ormas tertentu. Selain itu, organisasi koperasi harus bersifat independen terlepas dari campur tangan pemerintah,” demikian disampaikan dalam petisi tersebut.
Selama ini, Dekopin dianggap menyuarakan kepentingan pemerintah ketimbang menyuarakan aspirasi koperasi. Sebagai contoh, Dekopin justru mendukung UU 17/2012 yang digugat oleh gerakan koperasi dan telah dibatalkan MK.
Dengan dibiayainya Dekopin oleh APBN, maka terjadi tumpang tindih pembiayaan APBN untuk sektor koperasi melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Dekopin. Dalam setahun, dewan koperasi itu menerima sekitar Rp50 miliar-Rp80 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Mereka juga menilai Dekopin tidak transparan dalam pengelolaan keuangannya, terutama pada penggunaan dana yang berasal dari pemerintah. Selain itu, penggunaan anggaran tidak diikuti oleh pelaporan penggunaan anggaran dan kinerja sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) lewat laman resmi atau media lainnya.
Dekopin juga dianggap tidak membawa dampak positif bagi gerakan koperasi Indonesia, termasuk di sisi kontribusi koperasi yang masih rendah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan tidak adanya koperasi-koperasi besar dan sehat yang dapat masuk ke jajaran 300 koperasi dunia.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, koperasi menyumbang 1,7 persen PDB pada 2014. Pada 2017, angkanya naik menjadi 4,48 persen dan meningkat lagi menjadi 5,1 persen pada 2018.
Secara nilai, kontribusinya diklaim sebesar Rp451,95 triliun pada 2017 dan tumbuh menjadi Rp753,84 triliun pada tahun lalu.
Di sisi jumlah, terdapat 126.343 koperasi di Indonesia per Juni 2019. Jumlah ini merupakan hasil revitalisasi, di mana 5 tahun lalu angkanya mencapai 212.570 unit koperasi.
Pedagang batik menunggu pembeli di Pasar 17 Agustus, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Kamis (16/5/2019)./ANTARA-Saiful Bahri
Jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, porsi koperasi di PDB Indonesia pun masih sangat rendah. Koperasi Singapura misalnya, berkontribusi 10 persen terhadap PDB negaranya. Bahkan, di Selandia Baru angkanya mencapai 20 persen sedangkan Prancis dan Belanda masing-masing 18 persen.
Sementara itu, mengacu ke World Cooperative Monitor 2018 yang dikeluarkan ICA, hanya ada satu koperasi asal Indonesia yang masuk dalam daftar 300 koperasi terbesar dunia berdasarkan turnover/PDB per kapita. Adalah Koperasi Telekomunikasi Selular yang berada di peringkat 94, dengan rasio turnover/PDB per kapita sebesar 121.546,82 pada 2016.
Data ICA menunjukkan koperasi-koperasi besar di seluruh dunia datang dari AS dan negara-negara Eropa.
Suroto menuturkan secara keseluruhan, para aktivis menganggap RUU ini tidak menunjukkan indikasi penguatan otonomi koperasi, tetapi lebih condong ke arah campur tangan dan intervensi pada operasi koperasi sehari-hari. Jika benar, maka hal ini justru bakal menghambat perkembangan koperasi Indonesia.
“Ini menempatkan koperasi sebagai kalah dengan bisnis sektor swasta dan publik, serta menjadikan Dewan Koperasi sebagai agen tunggal untuk pengembangan koperasi menyebabkan potensi semakin terbelakangnya koperasi. RUU ini telah gagal melindungi pentingnya identitas koperasi. RUU Koperasi gagal menjelaskan keunggulan komparatif dan kompetitif koperasi. Ini akan menghambat pencapaian demokrasi ekonomi dan menciptakan undang-undang koperasi yang tidak bersahabat dengan pertumbuhan dan perkembangan koperasi yang baik,” pungkasnya.