Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan pemerintah yang tidak menyediakan jalur penyaluran beras dan belum adanya revisi terhadap harga pokok pembelian (HPP) beras atau gabah membuat kinerja Perum Bulog (Persero) menjadi semakin terbatas.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, realisasi serapan beras Bulog masih terbilang rendah. Berdasarkan data dari Bahan Ketahanan Pangan, realisasi serapan beras Bulog per 13 Maret adalah sebesar 20.844 ton.
Padahal, target serapan beras selama Januari hingga Maret 2019 ditetapkan sebesar 1,45 juta ton. Realisasi yang masih jauh dari target ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah keharusan Bulog untuk menyerap beras sesuai HPP yang sudah ditetapkan pemerintah.
“Selain itu Bulog juga menghadapi kesulitan untuk melakukan penyerapan karena kanal penyaluran Bulog yang hilang semenjak perubahan skema program bantuan Rastra. Sementara itu, penerapan HPP membuat daya serap Bulog terhadap beras petani menjdi kurang fleksibel,” ujarnya seperti dikutip dari keterangan resminya, Senin(25/3/2019).
Dia menambahkan, adanya HPP justru menghambat kerja Bulog untuk menyerap gabah dan beras dari petani. Bulog harus membeli gabah pada kisaran Rp 4.030/kg, disaat BPS pada Februari lalu mencatat harga gabah ada di kisaran Rp 5.114/kg, dengan kualitas terendah ada di angka Rp4.616/kg.
“Angka ini tentunya jauh dari patokan harga yang Bulog miliki, sehingga tidak menutup kemungkinan petani memutuskan untuk menjual ke tengkulak dan pada akhirnya akan mengganggu stabilitas harga beras di pasaran,” jelasnya.
Baca Juga
Selain itu, Bulog juga masih kesulitan untuk mencari kanal penyaluran beras semenjak adanya pengalihan dari Rastra ke program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) / voucher pangan. Melalui program itu, penerima bantuan memiliki akses terhadap jenis beras lain sehingga beras Bulog tidak menjadi satu-satunya opsi beras bantuan. Hal ini mengakibatkan permintaan beras Bulog berkurang.
Assyifa menambahkan, ketika permintaan berkurang, Bulog pun pada akhirnya relatif sulit untuk melakukan penyerapan dari petani. Secara rasional, pedagang tidak akan menyetok suplai ketika mereka sendiri kesulitan untuk melakukan penjualan.