Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik melaporkan neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus tipis sebesar US$330 juta pada Februari 2019.
Posisi ini merupakan surplus pertama kali sejak defisit berturut-turut dalam empat bulan terakhir. Defisit disebabkan oleh posisi neraca ekspor yang tercatat sebesar US$12,53 miliar, lebih rendah dibandingkan nilai neraca impor yang sebesar US$12,2 miliar.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menuturkan surplus terjadi disebabkan impor yang turun tajam di tengah kondisi ekspor yang turun.
"Setidaknya ini surplus berita yang baik karena ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi kuartal I/2019," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung BPS, Jakarta, Selasa (15/3/2019).
Surplus ditopang oleh ekspor non migas yang mengalami surplus US$790 juta. Sementara itu, ekspor migas masih mengalami defisit senilai US$460 juta.
Defisit di dalam neraca migas tersebut disebabkan oleh defisit minyak mentah dan hasil minyak. Adapun hasil gas masih menunjukkan posisi surplus.
Secara lebih terperinci, BPS mencatat nilai ekspor Februari 2019 sebesar US$12,53 miliar atau menurun 10,03% dibandingkan posisi bulan sebelumnya. Menurut Suhariyanto, penurunan ini disumbang oleh penurunan ekspor migas dan non migas.
Jika dibandingkan tahun lalu, penurunan terjadi lebih tajam yakni sebesar 11,3%. Berdasarkan polanya, dia menuturkan penurunan ekspor selalu terjadi pada Februari karena jumlah hari yang lebih pendek pada bulan tersebut.
Berdasarkan sektor, ekspor migas masih mengalami penurunan 11,85% menjadi US$1,09 miliar pada Februari 2019 dibandingkan bulan sebelumnya. Secara tahunan, penurunannya tercatat lebih tajam yakni mencapai 21,75%.
Sementara itu, ekspor sektor pertanian mengalami penurunan 17,4% menjadi US$230 juta dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini didorong oleh penurunan hasil hutan bukan cengkih, biji kakao, dan tembakau.
Dari sektor pengolahan, ekspor Indonesia mengalami penurunan 7,71% menjadi US$9,41 miliar dari posisi Januari 2019. Adapun penurunan tahunannya lebih besar, yakni menyentuh 8,06%.
Sektor pertambangan juga turun cukup dalam, yaitu sebesar 18,76% menjadi US$1,8 miliar pada Februari 2019. Secara tahunan, penurunan sektor ini lebih dalam, yaitu sebesar 20,8%.
Berdasarkan tujuan ekspor, performa ekspor Indonesia ke AS turun cukup dalam sebesar US$238,7 juta pada Februari 2019. Ekspor ke China juga mengalami penurunan hingga US$191,1 juta.
Suhariyanto menerangkan penurunan ini dipicu oleh kondisi perlambatan ekonomi global.
Lebih lanjut, BPS mencatat impor per Februari 2019 sebesar US$12,2 miliar atau turun 18,61% dibandingkan bulan sebelumnya. Secara tahunan, impor turun sebesar 13,89% dibandingkan bulan yang sama pada tahun lalu.
"Penurunan disebabkan oleh penurunan impor migas dan non migas," jelasnya.
Secara pola, sama seperti di sisi ekspor, BPS melihat impor Februari selalu mengalami penurunan akibat jumlah hari yang lebih sedikit.
Dari penggunaannya, impor konsumsi mengalami penurunan 17,43% menjadi US$1,01 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Secara tahunan, impor barang konsumsi juga turun cukup dalam, yakni mencapai 26,94%.
Khusus impor barang baku dan bahan penolong, nilainya mengalami menyusut 21,11% menjadi US$9,01 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara itu, impor barang modal tercatat terpangkas 7,09% menjadi US$2,19 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.