Bisnis.com, JAKARTA- Kinerja ekspor minyak sawit Indonesia pada paruh pertama 2018 mengalami penurunan ditengah meningkatnya pasokan sawit dalam negeri.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat volume ekspor minyak sawit Indonesia (CPO, PKO dan turunannya termasuk oleochemical dan biodiesel) tercatat hanya mampu mencapai 15,30 juta ton atau turun 2% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dengan capaian 15,62 juta ton.
Khusus untuk volume ekspor CPO, PKO dan turunannya (tidak termasuk oleochemical dan biodiesel) tercatat mengalami penurunan sebesar 6% dari 15,04 juta ton pada semester pertama 2017 menjadi 14,16 juta ton pada periode yang sama tahun ini.
“Selama semester I/2018, kinerja ekspor minyak sawit mentah dan turunannya asal Indonesia ke negara tujuan utama kurang menggembirakan terutama di pasar India,” kata Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjojo dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/7/2018).
Ekspor semester pertama ke India mengalami kemerosotan yang cukup signifikan, sebesar 34%, dari 3,74 juta ton pada paruh pertama 2017 turun menjadi 2,50 juta ton diperiode yang sama tahun ini.
Tergerusnya pasar India terutama disebabkan tingginya bea masuk yang diterapkan negeri Bollywood tersebut untuk minyak sawit dengan alasan untuk melindungi industri refinery di dalam negeri.
Baca Juga
Di sisi lain, Isu deforestasi juga kebijakan phase out/penghapusan biofuel berbasis pangan oleh Parlemen Eropa sedikit banyak turut mempengaruhi pasar minyak sawit Indonesia di Benua Biru.
Impor Uni Eropa pada paruh pertama tahun ini hanya mencpai 2,39 juta ton dari sebelumnya sebanyak 2,71 juta ton pada periode yang sama tahun lalu. Dengan demikian, ada penurunan sekitar 12%. Penurunan kinerja impor untuk periode yang sama juga dibukukan negara Afrika sebesar 10%.
Kendati demikian, volume ekspor CPO Indonesia dan produk turunanya ke sejumlah negara tujuan ekspor lainnya, seperti China, masih tercatat mengalami peningkatan.
Negeri Tirai Bambu tersebut mencatakan keniakan volume impor sebesar 23% atau 343,31 ribu ton untuk semester I tahun ini. Sepanjang paruh pertama/2017, negeri yang terkenal dengan panda dan tekmbok raksasanya ini tercatat mengimpor 1,48 juta ton CPO dan produk turunannya dari Indonesia yang meningkat menjadi 1,82 juta ton di periode yang sama 2018.
“Kenaikan volume impor minyak sawit China karena adanya penurunan pajak pertambahan nilai untuk minyak nabati dari 11% menjadi 10% yang efektif berlaku sejak 1 Mei 2018. Selain itu eskalasi perang dagang antara Negeri Tirai Bambu ini dengan Negeri Paman Sam juga ikut mempengaruhi permintaan minyak sawit mentah dan turunannya,” jelas Mukti.
Untuk pertama kalinya sejak perang dagang berlangsung, pada Juni ini China mengimpor biodiesel dari Indonesia. Volume biodiesel yang diimpor cukup signifikan yaitu sebesar 185,86 ribu ton. Jika perang dagang terus berlanjut, prospek pasar minyak sawit dan biodiesel ke China diperkirakan akan cerah.
Beralih ke rival perang dagang China,Amerika Serikat juga mencatatkan kenaikan impor CPO dna turunannya di semester pertama 2018 68,38 ribu ton atau setara dengan 13% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau dari 542,70 ribu ton menjadi 611,08 ribu ton.
Negeri Adidaya ini diharapkan dapat meningkatkan permintaannya lebih besar lagi dalam rangka memenuhi kebutuhan industri di sana. Akan tetapi, perselisihan dagang dengan China menyebabkan penjualan kedelai AS ke China tersendat sehingga meningkatkan stok kedelai di dalam negeri yang pada gilirannya impor minyak nabati lain akan menjadi berkurang.
Harga dan Produksi Sawit
Sepanjang semester pertama 2018 harga bergerak di kisaran US$ 605 – US$ 695 per metrik ton. Harga CPO global terus tertekan sejak awal Desember 2017 dan tidak pernah menembus US$ 700 per metrik ton hingga akhir semester I/2018. Lesunya harga CPO global terjadi lantaran melimpahnya stok komoditi penghasil minyak nabati di pasar global.
Adapun Volume ekspor CPO dan produk turunnya pada Juni 2018 tercatat naik 7% dibandingkan dengan Mei 2018 atau dari 2,14 juta ton naik menjadi 2,29 juta ton. Pada Juni ini, India menaikan impor minyak sawitnya sebesar 95% dibanding dengan bulan sebelumnya atau dari 240,16 ribu ton naik menjadi 467,81 ribu ton secara mengejutkan.
Sebelumnya, pada Maret lalu, India menaikan tarif bea masuk impor minyak nabati pada tarif tertinggi yang menyebabkan impor minyak sawit terus tergerus cukup signifikan khususnya pada Mei lalu.
Jumlah penduduk yang besar dan konsumsi yang tinggi untuk minyak nabati tak dapat dibendung, bea masuk yang tinggi jebol dikarenakan adanya kebutuhan dalam negeri yang harus dipenuhi.
Sementara itu, ditengah menurunnya permintaan CPO dan produk turunannya dari sejumlah pasar utama tujuan ekspor Indonesia, produksi minyak sawit dalam negeri sepanjang paruh pertama 2018 ini justru meningkat hingga 23% menjadi 22,32 juta ton dari 18,15 juta ton pada periode yang sama tahun sebelumnya.
“Meningkatnya produksi semester pertama 2018 ini terjadi karena faktor cuaca yang mendukung dan pengaruh El Nino pada tahun sebelumnya sudah mulai hilang,” pungkas Mukti.