Bisnis.com, JAKARTA - Pemilik konsesi hutan tanaman industri (HTI) diminta untuk lebih memperhatikan keadaan lahan yang menjadi wilayah konsesinya. Perhatian lebih ini, khususnya untuk lahan yang tidak masuk dalam wilayah tanaman pokok.
Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo menyebutkan kebanyakan pemilik konsesi HTI tak memanfaatkan sepenuhnya lahan yang diberikan.
Jumlah lahan yang dimanfaatkan untuk diisi dengan tanaman pokok sesuai kebutuhan industri hanya sekitar 50% dari izin yang diberikan atau bahkan lebih sedikit. Hal inilah yang menurutnya berpotensi ini menjadi tantangan seperti terjadinya kebakaran hutan.
“Jadi sebenarnya tantangan HTI kita itu bukan di akasianya [lahan yang dimanfaatkan untuk menanam tanaman pokok] tapi di area konsesinya. Ketika kebakaran di area konsesi, itu kalau saya lihat sering bukan di tanaman pokoknya tetapi di luar tanaman pokok,” katanya ketika dihubungi Bisnis, Kamis (26/7/2018).
Pemanfaatan lahan yang tidak 100% ini memang bukan sepenuhnya karena perusahaan tidak ingin memanfaatkan izin lahan yang diberikan sebagai area kerja, melainkan adanya faktor lain.
Faktor lain tersebut termasuk sejumlah ketentuan seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.12/Menlhk-II/2015 yang mewajibkan adanya penyisihan paling sedikit 20% lahan konsesi untuk tanaman kehidupan, juga 10% untuk kawasan lindung.
Di luar itu, kata Herry, jika dalam area konsesi terdapat sungai, maka akan ada sempadan sungai yang juga tidak boleh ditanami. Belum lagi, jika dalam area konsesi terdapat wilayah konflik, secara otomatis, perusahaan pemegang hak konsesi akan enggan untuk melakukan penanaman.
Dengan demikian, pemanfaatan area kerja yang dalam peraturan disebutkan paling banyak 70% ini cenderung lebih rendah.
Yang menjadi masalah menurut Herry adalah ketika sisa lahan tidak dimanfaatan, perusahaan pemegang HTI cenderung kurang memperhatikan keadaannya, apakah tinggi muka air- khususnya di lahan gambut- menyusut sehingga menyebabkan lahan kering dan berpotensi memicu kebakaran, apakah lahan tak terpakai ini digunakan oleh pihak lain secara ilegal, atau dilakukan pembakaran oleh pihak tak bertanggung jawab.
“Yang tidak ditanami itu kan sering menjadi area rebutan, open access. Ini kan sering oleh perusahaan tidak intensif [diawasi] karena itukan tidak menghasilkan, bukan tanaman pokok. Kalau yang ditanam sama perusahaan kan dijaga. Itu [lahan tak ditanami] kemudian oleh banyak pihak- bisa masyarakat, bisa di orang yang nggak benar juga- kemudian dibakar, kadang ditanam sawit, tidak sesuai peruntukannya,” paparnya.
Untuk itu, dia meminta agar perusahaan pengelola HTI bisa memberi perhatian lebih atas lahan yang menjadi areanya, khususnya yang tidak ditanami tanaman pokok. Pasalnya, jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran di area konsesinya, meskipun dilakukan oleh pihak lain, perusahaan menurutnya menjadi pihak yang harusnya bertanggung jawab penuh karena lahan tersebut telah diamanatkan untuk dimanfaatkan dan dijaga oleh perusahaan pemegang izin.
Di samping itu, dia juga meminta kepada pemerintah agar dalam pemberian izin HTI, selain memastikan bahwa lahan tidak termasuk dalam wilayah hutan lindung, juga bukan wilayah konflik.
“Karena di beberapa aturan saya setuju strict liability. Ketika itu sudah masuk konsesi perusahaan dan terbakar, perusahaan harus tanggung jawab. Oleh karena itu, ketika pemerintah memberi izin area ke perusahaan harus clean dan clear,” pungkasnya.