Bisnis.com, JAKARTA — Sinarmas Agribusiness and Food menargetkan implementasi traceability to plant oleh perusahaan untuk produk sawit bisa mencapai 100% pada 2020.
Traceability to plant merupakan ketertelusuran asal produk yang dihasilkan hingga ke asal mula produk tersebut. Untuk produk sawit, traceability to plant berarti perusahaan mengetahui pasti di mana, dan bagaimana proses produksi sawit mulai dari perkebunan. Apakah sawit ditanam di lokasi berizin atau di daerah yang masuk dalam kawasan hutan atau konservasi, apakah penanaman sawit dilakukan dengan memperhatikan keadaan dan kelestarian lingkungan sekitar atau justru malah merusak.
“Milestone berikut kita, memang kita punya action plan untuk sampai 2020 itu mau traceability to plantation tapi memang itu pekerjaan besar ya karena kan kita ada sekitar 400 an pabrik [yang mensuplai ke refinery],” kata Daniel Prakarsa, Commercial Sustainability Lead Golden Agri International Pte Ltd, Selasa (17/7/2018).
Saat ini, kata Daniel, ketertelusuran baru diterapkan 100% pada 44 pabrik kelapa sawit milik perusahaan yang memasok ke refinery. Dengan kata lain, pihaknya telah mengetahui terkait asal produk dan lingkungan di sekitar lahan tanaman sawit.
Selain dari lahan milik perusahaan, ke 44 pabrik ini juga mendapat pasokan dari petani sawit independen melalui perantaraan 70 pemasok yang membeli dari sekitar 11.000 petani. Adapun untuk ke 427 lainnya, pihaknya masih berusaha menggaet pabrik-pabrik untuk turut mau mengumpulkan data terkait asal muasal sawit yang diproduksi.
Saat ini, pihaknya menargetkan 10 pabrik kelapa sawit di luar milik sendiri untuk mau bergabung mengumpulkan data setiap sawit yang masuk. Kesepuluh pabrik tersebut dibekali perangkat lunak senilai US$12.000 per lisensi untuk bisa ikut menelusuri rantai pasok.
Kendati demikian, menurutnya hingga saat ini baru satu pabrik yang berkomitmen untuk ikut dalam program ini.
Daniel bercerita bahwa saat ini traceability menjadi faktor penting dalam menggarap pasar-pasar sawit potensial. Pasalnya, isu sawit berkelanjutan yang salah satunya bisa dilihat dari ketertelusuran produk menjadi gagasan penting yang kerap dipertanyakan para konsumen.
“5-6 tahun belakangan, buyer itu nggak nanya harga atau kualitas saja. Dia mulai nanya bagaimana produk kalian diproduksi, apakah berkelanjutan, apakah menyebabkan deforestasi dan itu sekarang benar-benar menjadi suatu competitive advantage ya, bagaimana pemain pemain sawit itu dapat menunjukkan kinerja dalam hal keberlanjutan dalam hal proses produksi maupun rantai pasok,” ujarnya.
Dengan adanya ketertelusuran ini, dia berharap ceruk pasar sawit perusahaan tidak akan tergerus seiring semakin banyaknya kampanye negatif terkait sawit. Bahkan, saat ini, Daniel mengklaim bahwa penetrasi pasar produk sawit Sinarmar masih terus berjalan merambah konsumen-konsumen baru atau mendapat peningkatan permintaan dari konsumen lama kendati tidak menyebutkan angka pastinya.