Bisnis.com, JAKARTA -- Nelayan tradisional di sejumlah lokasi kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak, apalagi premium dan solar bersubsidi.
Berdasarkan temuan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) di beberapa kampung nelayan, nelayan harus membeli dengan harga jauh lebih tinggi dari harga yang sudah diatur pemerintah.
Di Teluk Maumere, Lembor Selatan-Labuhan Bajo, dan Lembata, Nusa Tenggara Timur, nelayan harus membeli premium Rp10.000 per liter, sedangkan solar Rp6.000 per liter. Di Kepulauan Sepanjang-Sapeken, nelayan juga harus menebus premium Rp10.000 per liter, sedangkan solar Rp9.000 per liter.
Padahal, pemerintah menetapkan harga premium (RON 88) dan solar subsidi untuk nelayan Rp5.150 per liter di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Adapun di luar Jamali, harga premium dan solar subsidi Rp6.450 per liter. Seperti diketahui, sasaran subsidi adalah nelayan dengan ukuran kapal di bawah 30 gros ton.
"Pemerintah masih membiarkan nelayan membeli BBM dengan harga di atas ketentuan pemerintah. Pembiaran tersebut menyebabkan ongkos melaut dan margin keuntungan yang bisa didapat semakin mengecil," kata Ketua Departemen Advokasi dan Jaringan DPP KNTI Misbachul Munir, Senin (4/6/2018).
KNTI mencatat nelayan setiap hari harus mengeluarkan biaya solar atau premium Rp25.000 hingga Rp30.000 per trip jika mereka membeli BBM dengan harga nonsubsidi. Sudah mahal, BBM kerap sulit didapat.
Misbachul mengatakan penerbitan Peraturan Presiden No 43/2018 sebagai revisi Perpres No 191/2014 tentang Penyediaan Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, semestinyadapat menyelesaikan permasalahan distribusi dan akses BBM bersubsidi untuk nelayan tradisional.
Menurut dia, harus ada langkah cerdas pemerintah untuk memperbaiki tata niaga solar dan premium serta mengoptimalikan pendistribusian.
"Salah satu model yang bisa didorong adalah dengan mengoptimalkan fungsi organisasi nelayan serta koperasi nelayan sebagai pengelola distribus BBM di kampung-kampung nelayan," ujarnya.