Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Targetkan Penurunan Gini Ratio, Pemerintah Fokus Tekan Kemiskinan

Pemerintah menargetkan rasio ketimpangan atau Gini Ratio turun hingga mencapai 0,38 pada 2019 dengan fokus memerangi angka kemiskinan ekstrim.
Warga beraktivitas di permukiman yang terletak di bantaran Sungai Cisadane, Bogor, Jawa Barat, Rabu (4/10)./ANTARA-Yulius Satria Wijaya
Warga beraktivitas di permukiman yang terletak di bantaran Sungai Cisadane, Bogor, Jawa Barat, Rabu (4/10)./ANTARA-Yulius Satria Wijaya

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menargetkan rasio ketimpangan atau Gini Ratio turun hingga mencapai 0,38 pada 2019 dengan fokus memerangi angka kemiskinan ekstrim.

Tahun ini, pemerintah memator rasio ketimpangan pada level 0,39. Per September 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,391.

Berdasarkan data BPS, angka ini menurun sebesar 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2017 yang sebesar 0,393.

Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Pungky Sumadi mengungkapkan upaya menekan rasio ketimpagan dengan menuntaskan masalah kemiskinan ekstrim atau extreme poverty ini sudah dijalankan mulai tahun ini.

Langkah awalnya a.l. dengan terus mengulirkan Program Keluarga Harapan (PKH), beras sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, dan subsidi listrik serta gas.

"Tapi memperbaiki sektor riil dan sosial juga penting," kata Pungky, Senin (12/3/2018).

Dengan perbaikan ini, dia yakin secara tidak langsung kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Beberapa fokus pengembangannya adalah perbaikan infrastruktur dasar, pendidikan dasar dan kesehatan. Sayangnya, Pungky belum dapat mengungkapkan upaya meningkatkan anggaran bantuan sosial tahun depan. Pasalnya, pemerintah masih menunggu laporan pelaksanaan program PKH pada 2018 dari sejumlah menteri.

"Saya belum bisa bilang karena memang belum ada keputusan apapun," ujar Pungky.

Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Program Kemiskinan Vivi Alatas mengungkapkan upaya menekan kemiskinan ekstrim harus komprehensif.

Upaya tersebut juga difokuskan kepada tiga pilar utama, yakni pemerataan kesempatan, penciptaan lapangan pekerjaan yang layak dan bantuan jika masyarakat miskin terkena guncangan.

Pertama, pemerataan kesempatan harus diberikan kepada seluruh masyarakat Indonesia karena tidak semua masyarakat mendapat kesempatan yang sama. Masyarakat yang lahir di kota dan masyarakat yang lahir di daerah terpencil memiliki kesempatan yang berbeda. "Sepertiga ketimpangan itu datang dari hal-hal yang tidak bisa kita pilih, orang tua dan tempat kita dilahirkan," ujar Vivi.

Oleh karena itu, pembangunan yang merata hingga ke wilayah atau pulau terluar dan terjauh menjadi kunci. Menurutnya dana desa bisa didorong untuk menopang hal tersebut. Tidak hanya pembangunan, tetapi juga penciptaan lapangan kerja.

Kedua, penciptaan lapangan pekerjaan yang layak. Dari pilar ini, Vivi menyoroti masalah rigiditas regulasi lapangan pekerjaan. Menurutnya, masyarakat memerlukan peraturan yang dapat mendorong penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Saat ini, pencipataan lapangan pekerjaan formal sedikit. Ini perlu diperbesar agar masyarakat mendapat pekerjaan layak.

"Yang paling penting adalah bagaimana masyarakat miskin dapat membantu dirinya sendiri," tegas Vivi. Selain itu, akses pekerjaan formal perlu dipermudah, misalnya melalui platform tertentu atau penciptaan akses dari bantuan pemerintah. Selama ini, dia melihat masyarakat miskin umumnya mendapatkan pekerjaan melalui kerabat atau keluarganya.

Seiring dengan revolusi industri 4.0, dia mengungkapkan peningkatan keterampilan di luar pendidikan formal sangat dibutuhkan agar pekerja dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. "Salah satu revolusi mental adalah kemauan selalu belajar," kata Vivi.

Dia juga menambahkan produktivitas tenaga kerja juga harus digenjot. Jumlah perempuan bekerja harus ditingkatkan. Vivi mengungkapkan jumlah perempuan bekerja saat ini hanya mencapai 50%. "Ini harus dicari apa yang membuat mereka ingin dan bisa bekerja. Apakah terkait waktu kerja, child care atau jenis pekerjaannya."

Ketiga, bantuan sosial itu penting karena 50% masyarakat miskin tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri. Dengan demikian, upaya pengentasan kemiskinan ekstrim harus komprehensif.

Sementara itu, Ekonom Indef Abdul Manap Pulungan mengatakan bantuan sosial tidak cukup karena pengaruhnya tidak berkelanjutan.

"Ketimpangan dan kemiskinan tetap tinggi meski bantuan sosial sudah dikucurkan sejak dulu," ungkap Abdul.

Menurutnya, upaya menarik 10% kelompok masyarakat miskin terbawah harus dimulai dengan pengembangan sektor pertanian karena sektor tersebut dekat dengan kelompok masyarakat termiskin, terutama pertanian bahan pangan.

"Jadi memang harus kembali lagi ke sektor pertanian, mau tidak mau," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper