Bisnis.com, JAKARTA - Bisnis stasiun pengisian bahan bakar umum atau SPBU memang menarik bila dilakukan di kota besar, investasi dalam jumlah besar pun bukan masalah karena antrian mengisi bensin akan selalu ada siang maupun malam. Namun, bagaimana prospek bisnis SPBU di luar kota besar?
Badan Pengatur Hilir atau BPH Migas mencatat pelaku usaha masih menilai prospek bisnis SPBU di luar kota besar masih rendah. Tingkat keekonomiannya dinilai masih rendah alias susah balik modal. Hal itu tercermin dari total 7.000 SPBU yang ada di Indonesia, 60% berada di Jawa.
Persoalan balik modal memang menjadi perhatian khusus karena bisnis SPBU pun bukan bisnis yang murah. Pelaku usaha harus mengeluarkan kocek Rp20 miliar untuk membangun satu SPBU.
Dengan begitu, kalau tingkat keekonomian di luar kota besar masih rendah bisa membuat pelaku usaha malah sulit balik modal. Di sisi lain, Indonesia membutuhkan penyebaran SPBU yang lebih merata. Pasalnya, saat ini, rasio jumlah SPBU di Indonesia dibandingkan dengan jumlah penduduk adalah 1 : 35.000, artinya 1 SPBU harus melayani 35.000 pengguna kendaraan.
Lalu, fakta geografis menunjukkan, rasio perbandingan jumlah SPBU dengan luas wilayah Indonesia adalah 1:3.000 atau 1 SPBU harus melayani masyarakat yang berada di sekitar 3.000 km sekitarnya.
Kebutuhan SPBU yang lebih banyak itu membuat lahirnya pengecer ilegal. Hal itu pula yang membuat harga BBM cenderung berbeda setiap wilayah dan masih terjadi hingga saat ini, meskipun sudah ada BBM satu harga.
Baca Juga
Untuk itu, BPH Migas pun membentuk sub penyalur demi menghilangkan pengecer ilegal yang bisa menaikkan harga jual BBM tersebut. Nah, sub penyalur BBM ini dibuat skema bisnis yang lebih murah sehingga bisa menarik investasi pada sektor hilir migas tersebut.
Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengatakan, untuk menjadi sub penyalur hanya membutuhkan investasi sekitar Rp50 juta sampai Rp100 juta per sub penyalur. Angka itu jauh lebih rendah ketimbang membuka SPBU yang memakan investasi hingga Rp20 miliar.
"Jadi, margin sub penyalur ini dibatasi yakni, Rp1.000 per liter setiap harinya. Posisi sub penyalur pun minimal 5 km dari SPBU terdekat, kalau dilihat dalam dua tahun sudah bisa balik modal," ujarnya pada Senin (19/2/2018).
Sementara itu, proses izin mengajukan diri menjadi sub penyalur BBM ini harus melewat pemerintah daerah setempat. Nanti, pemerintah daerah setempat akan memberikan datanya kepada BPH Migas.
Ivan, sapaan akrab Fanshurullah, mengatakan, setelah mendapatkan surat dari Pemda, pihak BPH Migas pun akan mengecek lokasinya. Bila sudah sesuai, BPH Migas akan mengontak PT Pertamina (Persero) atau PT AKR Corporindo Tbk. untuk memasok BBM kepada sub penyalur tersebut.
"Proses izin pun tidak akan terlalu lama. Sub penyalur ini pun terbuka bagi siapapun, seperti koperasi, badan usaha desa, atau konsumen BBM itu sendiri," ujarnya.
BPH Migas pun mencatat sudah ada 5 sub penyalur yang berada di Papua dan Sulawesi. Sebanyak 3 berada di Asmat dan 2 di Selayar. Selain itu, BPH Migas juga tengah mengurus perizinan 170 sub penyalur BBM yang sudah mengajukan kepada pemerintah daerah setempat.
Tertarik bisnis menjadi sub penyalur BBM demi menambah titik pengisian bahan bakar minyak di Indonesia?