Bisnis.com, JAKARTA - Potensi pendapatan negara dari sisi perpajakan dinilai dapat hilang apabila perkembangan ekonomi digital tidak dapat diantisipasi pemerintah.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengatakan saat ini pelaku ekonomi digital dunia dapat menjalankan usahanya di Indonesia tanpa membutuhkan bentuk fisik dan tidak dikenakan pajak, karena regulasi yang mengatur hal ini belum ada.
“Digital itu ada definisi yang terlalu longgar. Ecommerce, kartu kredit kadang-kadang dibilang konvensional, kalau itu dimasukkan porsi kita kurang lebih Rp200 triliun size ekonominya. Nah pajaknya kalau PPn dipungut berarti bisa dapat 20 triliun. Itu berarti untuk mendapatkan Rp15-Rp25 triliun harusnya dapat tambahan dari situ, lebih mungkin,” ujarnya dalam sebuah diskusi, Kamis (3/8/2017).
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), lanjutnya, pada 2013 telah membentuk standar internasional pipe action plan on base erosion and profit shifting, karena menyadari di era ekonomi digital penetapan pajak akan semakin sulit.
Uni Eropa menjadi kawasan yang lebih dahulu menerapkan common consolidate corporate tax base. Negara-negara di kawasan ini menyepakati pembagian penerimaan pajak dari ekonomi digital.
Contoh praktik dari ketentuan ini adalah, ketika perusahaan e-commerce yang berdiri di suatu negara menjual barang di negara lainnya, maka pajak yang dikenakan atas transaksi ini akan dibagi untuk kedua negara.
“Katakanlah domain internetnya dibangun di Singapura, dan Singapura menyadari pajaknya lebih berhak diberikan kepada Indonesia, Singapura dan negara lain, dia akan bagi, uni eropa sudah sampai tahap itu, mereka menerapkan common consolidated corporate tax base,” tuturnya.