Bisnis.com, JAKARTA – Adanya percepatan proyek pemerintah menjelang Lebaran tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja industri alat berat nasional. Hal tersebut diperparah dengan harga komoditi yang anjlok hingga memasuki kuartal II/2016.
Ketua Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi) Jamaludin mengatakan penyerapan alat berat dari proyek pemerintah belum terasa. Lesunya pasar alat berat tercatat dari pencapaian produksi kuartal I/2016 yang tidak menunjukkan kenaikan.
"Industri alat berat belum menunjukkan peningkatan. Kuartal I/2016 produksi hanya 619 unit atau 50% dari kuartal I/2015," katanya kepada Bisnis.com, Minggu (26/6/2016).
Dia mengungkapkan dengan adanya percepatan proyek menjelang Lebaran, tidak akan memberikan efek sama sekali dari kinerja penjualan alat berat. Hal itu akibat harga komoditas produk tambang yang masih anjlok, seperti batu bara.
"Banyak alat nganggur, bagaimana mau beli baru. Harapannya ada di kuartal II, dengan catatan proyek pemerintah berjalan sesuai rencana dan kebutuhan alat berat ada," ujarnya.
Menurut data Kementerian PUPR, estimasi kebutuhan alat berat pada 2016 mencapai 10.502 unit, naik tipis dari tahun lalu yang sebesar 10.229.
Senada dengan Jamaludin, Corporate Secretary United Tractors Sara Loebis mengatakan penjualan kuartal II bakal tidak jauh berbeda dengan kuartal sebelumnya.
"Kuartal I/2016 kurang lebih komposisi penjualan ke sektor konstruksi 50%. Data sampai Mei juga masih 54%. Pertumbuhan kuartal II bisa turun. Yang bisa kami lakukan hanya mempertahankan penjualan," ujarnya.
Adapun alat berat yang paling dibutuhkan untuk kebutuhan infrastruktur antara lain buldozer, ekskavator, dan mesin pemadat jalan.
Namun, lain halnya dengan distributor yang mengakui ada kenaikan penjualan. Ketua Perhimpunan Alat Berat Indonesia Djonggi Gultom yang mengatakan percepatan proyek menjelang Lebaran berdampak pada kenaikan penjualan sekitar 20%.
“Ada peningkatan sekitar 20%, tapi kami masih terkendala pengiriman barang karena sekarang angkutan yang diprioritaskan untuk transportasi penumpang, barang dinomor duakan bahkan ada yang disetop,” katanya.
Dia mengungkapkan merek lokal seperti Komatsu, Caterpillar, Hitachi, Sakai, dan Sumitomo telah menguasai lebih dari 50% pasar alat berat nasional.
SERAPAN DALAM NEGERI
Kepala Sub Direktorat Material dan Peralatan Konstruksi Dirjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Rusli memperkirakan penyerapan alat berat merek dalam negeri hanya mencapai 30% untuk proyek pemerintah.
Dia mengatakan saat ini pihaknya tengah menyiapkan sistem untuk mengelola informasi berbasis online untuk registrasi pengadaan alat berat konstruksi bagi kontraktor.
"[Penyerapan dalam negeri] 30%. Tapi itu masih angka kasar karena kami belum punya data yang riil, maka kami sedang menyiapkan sistem informasi lewat website sejak setahun yang lalu," katanya.
Dengan sistem informasi tersebut, lanjutnya, Kementerian PUPR bisa mendeteksi jenis, kondisi, dan keberadaan alat berat tersebut sehingga memudahkan pendataan kebutuhan alat berat untuk konstruksi pemerintah.
Namun, permasalahannya sampai sekarang ialah kontraktor belum konsisten untuk mendaftarkan alat beratnya.
Nantinya, Kementerian PUPR akan menyiapkan payung hukum agar bisa mendorong para kontraktor melakukan registrasi tersebut yang akan dimuat dalam UU Jasa Konstruksi yang masih tahap penggodokan.
Dia menjelaskan estimasi kebutuhan Kementerian PUPR tersebut terdiri dari alat baru, bekas, dan sewa. “Kementerian PUPR menemukan kontraktor yang [proyeknya] bernilai di atas Rp50 miliar tidak punya alat berat, tetapi hanya sewa. Harusnya mereka juga punya sendiri. Itu yang membuat proyek terlambat,” ujarnya.
Dia mengungkapkan saat ini belum ada payung hukum yang mewajibkan bagi pelaku usaha yang membuat izin usaha konstruksi untuk memiliki alat berat.