Bisnis.com, JAKARTA - Blok A di Aceh, ditargetkan bisa menghasilkan gas pada 2018 kendati saat ini masih menanti persetujuan pengalihan saham partisipasi (participating interest/PI) milik Japex Block A Ltd’s sebesar 16,6667%.
Chief Operating Officer (COO) PT Medco Energi Internasional, Tbk, Ronald Gunawan mengatakan saat ini pihaknya masih menanti persetujuan saham partisipasi milik Japex yang dikuasai Medco.
Adapun, dalam blok tersebut, Medco menjadi pemilik saham mayoritas dengan kepemilikan menjadi 58,3334%. Saat ini, Medco Energi sebagai operator memiliki porsi 58,3334% dan KrisEnergy memegang 41,66% hak partisipasi.
"Itu sekitar kuartal pertama 2018 [on stream]," ujarnya di sela acara Focus Group Discussion Indonesian Petroleum Association (IPA) tentang Low Oil Price Environment, Its Unseen Impact to Indonesia Energy Resilience di Hotel Dharmawangsa Jakarta, Selasa (10/5/2016).
Sesuai Perjanjian Jual Beli Gas yang ditandatangani pada Januari 2015 dengan Pertamina, MedcoEnergi akan mengirimkan sebanyak 58 Billion British Thermal Units (BTU) per hari, 198 Trillion BTU selama 13 tahun melalui pipa di Bengawan.
Selain itu, katanya, pasokan gas akan dimanfaatkan ke industri berbasis gas yang berada di sekitar proyek. "Dijual ke Pertagas. Kan ada pipeline dari Bengawan. Ya saya kira juga akan ada [dipasok ke industri]," katanya.
Adapun, saat ini Medco memproduksi gas sebesar 200 juta kaki kubik per hari (MMscfd) gas dan minyak sebesar 20.000 barel per hari (bph). Produksi tersebut, tambahnya, berasal dari Blok Tarakan, Senoro dan Rimau South Sumatra.
Kendati kegiatan produksi berjalan normal, tahun ini pihaknya tak melakukan kegiatan eksplorasi. Survei seismik, tutur Ronald, baru dilakukan pada tahun depan karena harus melakukan pembebasan lahan. "Awal tahun ini kita sudah development drilling. Eksplorasi tahun ini enggak."
Di sisi lain, kegiatan lain berupa penggunaan teknologi enhanced oil recovery (EOR) memakai bahan kimia berupa surfactant dan polimer yang diinjeksikan ke 6 sumur di Blok Rimau telah lama dihentikan karena tak ekonomis dilakukan di masa harga minyak murah.
Bila harga minyak menyentuh angka US$85 per barel, barulah pihaknya akan melanjutkan pengembangan teknologi EOR guna meningkatkan produksi. "EOR kita enggak lanjutin. Soalnya enggak ekonomis kan."