Bisnis.com, JAKARTA - Penambahan alokasi pupuk bersubsidi dinilai sulit direalisasikan sepenuhnya sesuai dengan usulan yang disampaikan dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).
Herman Khaeron, Wakil Komisi IV DPR, mengatakan usulan alokasi pupuk bersubsidi yang disampaikan dalam RDKK mencapai sekitar 13,9 juta ton, jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi pupuk bersubsidi pada tahun ini yang ditetapkan 9,6 juta ton.
Kekurangan subsidi yang mencapai 4,3 juta ton tersebut, lanjutnya, tidak dapat sepenuhnya dipenuhi dalam waktu dekat karena terganjal keterbatasan produksi pupuk di dalam negeri. Kapasitas terpasang produksi PT Pupuk Indonesia sebagai holding perusahaan pupuk pelat merah pada tahun ini baru mencapai 12,6 juta ton.
“Tidak bisa dipaksakan. Penambahan alokasi paling banyak maksimal hanya sampai 11 juta ton karena Pupuk Indonesia juga harus memproduksi pupuk untuk komersial,” katanya kepada Bisnis, Rabu (15/4).
Menurut Herman, Pupuk Indonesia harus mengalokasikan sebagian dari kapasitas produksinya untuk memproduksi pupuk yang dijual secara komersial. Selain untuk mendulang profit, produksi pupuk nonsubsidi juga dilakukan untuk mempertahankan pangsa pasar pupuk di dalam negeri agar tidak dibanjiri oleh pupuk impor.
Peraturan Menteri Pertanian No. 13/2014 mengamanatkan distribusi pupuk bersubsidi sebanyak 9,6 juta ton pada tahun ini dengan perincian 4,1 juta ton pupuk Urea, 850.000 ton pupuk SP-36, 1,05 juta ton pupuk ZA, 2,55 juta ton pupuk NPK, dan 1 juta ton pupuk organik.