Bisnis.com, LONDON - Indonesia memiliki keberadaan kelompok diaspora yang besar dan tersebar di berbagai negara yang sayangnya masih ada berbagai masalah terkait status kewarganegaraan mereka sehingga potensi dari kelompok ini belum digarap secara serius.
Hal itu terungkap dalam seminar bertema Mencari Solusi Diaspora Indonesia dalam Politik Kewarganegaraan Indonesia: Dwi Kewarganegaraan Atau Alternatif Lain? yang diadakan di Auditorium Gedung Mochtar Kusumaatmadja, kampus FH Unpad, Bandung, akhir pekan.
Koordinator Global untuk Task Force Imigrasi dan Kewarganegaraan-Indonesian Diaspora Network (IDN) Indah Morgan, Senin (2/3/2015) menyebutkan seminar yang keenam merupakan rangkaian seminar diaspora dan dinamika kewarganegaraan yang digelar di beberapa daerah.
Seminar digelar Paguyuban Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Unpad (Paham FH Unpad) bekerja sama dengan Yayasan Diaspora Indonesia tampil sebagai pembicara Prof. Bagir Mana, Prof. Koerniatmanto Soetoprawiro (Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan), dan Alida Handau Lampe Guyer (praktisi ekonomi).
Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad, Prof. Bagir Manan, persoalan status hukum bagi kelompok diaspora pada dasarnya bermula sejak berkembangnya paham nasionalisme dan kebangsaan dari suatu negara.
Perkembangan selanjutnya adalah munculnya istilah internasionalisme dan globalisme, hingga mewujud institusionalisasi, seperti munculnya wilayah regional ASEAN atau Uni Eropa. "Selama tidak ada batas negara, diaspora itu tidak akan ada," ujarnya.
Indonesia menganut paham Kewarganegaraan Tunggal berdasarkan Hukum Kewarganegaraan. UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI yang salah satu butirnya menerangkan pembolehan memiliki Dwi Kewarganegaraan.
Bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan campur antarbangsa hingga batas usia 18 tahun ditambah 3 tahun masa transisi ini merupakan pengecualian dari paham Kewarganegaraan yang dianut dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia.
Dalam Undang-undang diyakini masih belum dapat memayungi harapan bagi kelompok diaspora, yang menurut Bagir, kelompok diaspora memiliki beberapa manfaat yang dihasilkan jika ditinjau dari sudut praktis.
Prof. Bagir yakin jika ditinjau dari tatanan politik, diaspora juga tidak akan berpengaruh banyak. Dari segi ekonomi, Dwi Kewarganegaraan juga mungkin akan bermanfaat dan tetap ada kompensasinya dengan tatanan politik lain.
Hal yang sama diungkapkan Alida Handau Lampe Guyer, sebagai praktisi ekonomi, ia melihat banyak keuntungan yang didapat Indonesia melalui kelompok diaspora, khususnya dari sektor remitansi atau pengiriman devisa ke dalam negeri.
Alida mencontohkan remitansi negara Filipina cukup tinggi, yakni sebesar US$25 miliar per tahun. Remitansi ini diperoleh dari kelompok diaspora. Filipina menetapkan paham Dwi Kewarganegaraan.
Kelompok diaspora Filipina mencapai 2 juta-3 juta jiwa, sementara itu diaspora Indonesia tiga kali lipat lebih tinggi banyak, namun remitansinya hanya US$7,1 miliar per tahun, ujar Alida yang juga pendiri Alida Centre.
Alida yang ikut memperjuangkan lahirnya UU No. 12 Tahun 2006 mengungkapkan bahwa jika Indonesia mampu menggali potensi ekonomi dari diaspora, maka remitansinya diharapkan akan meningkat 78% atau menjadi US$40 miliar-US$60 miliar /tahun.
Bagaimana Indonesia melihat isu Dwi Kewarganegaraan bagi diaspora, memiliki dasar politik kewarganegaraan adalah kewarganegaraan tunggal, kalaupun ada hukum tidak tunggal merupakan hukum pengecualian bukan hukum yang umum, ujarnya. Dikatakannya pertimbangan sosial dan kemanusiaan merupakan prinsip penting yang perlu dipertimbangkan agar Dwi kewarganegaraan bisa diberlakukan di Indonesia.
Sementara itu Prof. Koerniatmanto Soetoprawiro, dari Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan menyebutkan Hukum Imigrasi di Indonesia memberikan kemudahan bagi diaspora Indonesia yang menjadi warga negara asing, seperti yang diatur pada Peraturan Pemerintah no 31/tahun 2013 Pasal 1 angka 19.
Alida Handau menyebutkan salah satu yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia untuk maksimalkan potensi diaspora dengan perencanaan terprogram, terstruktur dan terukur, antara lain dengan mendorong peran para diaspora Indonesia yang berada di luar negeri seperti di Amerika untuk ikut berperan aktif mengambil bagian, mengembangkan keahlian dan pengetahuan dan usaha serta berbagi informasi dan pengalaman, memperluas jaringan bisnis dengan sesama diaspora maupun dengan berbagai pihak yang lainnya.
Diaspora Indonesia tidak lagi hanya sebatas labor provider. Seperti Jepang misalnya karena product mereka yang diekspor keluar negeri membutuhkan tenaga-tenaga kerja ahli, maka kehadiran manusia Jepang diluar negeri adalah diaspora yang ahli dan berpendidikan tinggi. []