Bisnis.com, JAKARTA—PT Perusahaan Listrik Negara mengklaim perbedaan perhitungan subsidi listrik 2013 dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disebabkan perbedaan dalam interpretasi ketentuan Peraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan PMK yang dimaksud, yakni PMK No. 170/PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, Dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik. Adapun, PMK tersebut ditandatangani pada 28 November 2013.
Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN Bambang Dwiyanto mengatakan PLN telah menyusun perhitungan subsidi listrik tahun anggaran 2013 dengan standar akuntansi keuangan dan ketentuan PMK yang berlaku.
Menurutnya, koreksi perhitungan subsidi listrik oleh BPK sebesar Rp5,59 triliun, menjadi Rp101,20 triliun dari sebelumnya Rp106,80 triliun, karena adanya perbedaan dalam interpretasi ketentuan PMK subsidi listrik antara PLN dan BPK.
“Perbedaan inilah yang menyebabkan adanya koreksi dalam perhitungan subsidi listrik. Tidak ada niat dan maksud dari manajemen PLN untuk menaikkan atau mark up nilai subsidi listrik,” ujarnya, Kamis (04/12).
Meski tidak menjelaskan secara detail, lanjutnya, perbedaan interpretasi yang dimaksud a.l. dalam perlakuan denda pekerjaan, penerimaan klaim asuransi, beban keuangan dari pajak atas bunga global bond, pendapatan dari pemanfaatan aset, dan perhitungan susut jaringan.
Bambang mengaku PLN akan terus meningkatkan komunikasi yang baik dengan BPK demi menjaga transparansi dan akutabilitas nilai subsidi listrik.
Menurutnya, nilai subsidi listrik yang ditetapkan BPK sudah final.
Seperti diberitakan sebelumnya, 10 perusahaan BUMN diduga melakukan mark up atau melebihkan klaim biaya subsidi, termasuk kewajiban pelayanan umum (public service obligation/PSO) hingga Rp5,96 triliun sepanjang 2013.
Perusahaan BUMN tersebut a.l. PT Perusahaan Listrik Negara, PT Pertamina, PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Kujang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Kereta Api Indonesia, PT Pelayaran Nasional Indonesia dan Perum Bulog.
Dari ke-10 perusahaan BUMN, PLN tercatat paling tinggi koreksi negatifnya sebesar Rp5,59 triliun. Disusul, PT Pelayaran Nasional Indonesia sebesar Rp98 miliar, dan PT Pupuk Iskandar Muda sebesar Rp80 miliar.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengatakan koreksi BPK atas subsidi dilakukan terhadap unsur-unsur biaya yang tidak boleh dibebankan, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, serta besaran volume dan subsidi.
“Hasil pemeriksaan BPK telah membantu pemerintah menghemat pengeluaran subsidi tahun lalu sebesar Rp5,42 triliun dari total subsidi yang harus dibayar pemerintah sebelumnya Rp385,46 triliun, menjadi Rp380,04 triliun,” katanya.