Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BM Kakao Nol Persen: Petani Mulai Beralih Ke Komoditas Lain

Penyerapan pasar yang diproyeksikan berkurang akibat pemberlakuan bea masuk impor kakao menjadi 0% dari sebelumnya 5%, membuat petani kakao di Jawa Barat secara perlahan beralih ke komoditas lain.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, BANDUNG -- Penyerapan pasar yang diproyeksikan berkurang akibat pemberlakuan bea masuk impor kakao menjadi 0% dari sebelumnya 5%, membuat petani kakao di Jawa Barat secara perlahan beralih ke komoditas lain.

Wakil Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Jawa Barat Warino Ma’ruf Abdulloh mengatakan kemungkinan besar petani kakao sedikit demi sedikit beralih komoditas tanpa digerakan oleh asosiasi.

“Mereka bisa beralih atas inisiatif sendiri-sendiri unttuk mengubah komoditas kakao ke yang lain,” katanya kepada Bisnis, Rabu (16/4/2014).

Dia menyebutkan sekitar 40% petani kakao di Jabar beralih komoditas menjadi petani karet dalam kurun waktu dua tahun ke belakang. Bahkan, perkebunan BUMN atau pun swasta sudah mengganti pohon-pohon kakao dengan karet.

Tanpa diberlakukan BM impor kakao pun selama ini petani hanya menyerap pasar domestik, karena produksi kakao di Jabar kurang diminati ekspor.

Dia mengungkapkan saat ini produktivitas komoditas kakao di Jabar hanya 0,5 ton per hektare per tahun. Padahal, menurut Warino, idealnya kakao diproduksi 1 ton per ha per tahun.

"Sedangkan potensi jika menggunakan benih unggul kakao bisa diproduksi hingga 1,7 ton per ha per tahun," ujar Warino.

Sementara itu, National Reference Group on Kakao Jawa Barat menilai pemberlakukan BM impor kakao mau tidak mau harus dilakukan karena kebutuhan industri hilir yang kian meningkat.

Koordinator NRG Kakao Jabar Iyus Supriyatna mengatakan meski BM impor kakao dilakukan, pemerintah harus memperbaiki sektor hulu agar penyerapan pasar domestik maupun ekspor bisa menggairahkan.

“Selama ini pemerintah sulit memperhatikan keadaan para petani, mereka hanya bisa menggulirkan program tanpa aplikasi di lapangan,” kata Iyus.

Padahal, katanya, produksi kakao Indonesia menempati peringkat ke-3 terbesar di dunia, tetapi produknya masih kalah bersaing jika dibandingkan negara di Afrika karena kualitas kakao yang masih rendah akibat bercampur dengan kakao nonfermentasi.

Menurutnya, setiap satu kwintal produk ekspor kakao dari Indonesia dikenakan penalti akibat kualitasnya di bawah standar.

"Bahkan produk dari Indonesia masih harus dipisah dengan produk kakao dari Ghana atau negara Afrika lainnya karena kalah bersaing," ujar Iyus.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper