Bisnis.com, JAKARTA - Banjir produk telepon seluler selama beberapa tahun terakhir menjadi beban tersendiri bagi neraca perdagangan RI, karena memberi kontribusi terbesar terhadap defisit nonmigas dan terbesar kedua setelah impor migas.
Badan Pusat Statistik (BPS) merangkum impor ponsel sepanjang 2013 menembus US$2,8 miliar atau hampir setara dengan Rp31,878 triliun, naik dari US$2,6 miliar pada 2012. Secara volume, impor handphone tahun lalu mencapai 16.470 ton, turun dari level 18.309 pada 2012.
Tingginya pertumbuhan permintaan ponsel di Indonesia mendesak pemerintah untuk terus membuka keran impor produk TI tersebut. Pasalnya, hingga saat ini belum ada produsen domestik yang berkapasitas untuk memenuhi tingginya kebutuhan dalam negeri.
Peneliti LP3EI Ina Primiana menjelaskan fenomena banjir impor ponsel saat ini dipicu oleh setidaknya tiga permasalahan, termasuk minimnya pembaruan terhadap industri teknologi komunikasi RI.
“Pertama, industri dalam negeri kurang melakukan pembaruan terhadap produknya, termasuk melakukan diversifikasi jenis industri dengan melihat potensi pasar yang ada,” jelasnya kepada Bisnis.
Masalah kedua, lanjutnya, adalah keenggangan untuk mendorong inovasi dan pengembangan produk, sehingga teknologi dan keterampilan yang dikembangkan menjadi tertinggal dan kurang kompetitif.
Adapun, masalah ketiga adalah masih belum adanya peraturan pemerintah yang secara jelas menganjurkan penggunaan produk teknologi komunikasi buatan lokal.
“Dari ketiga hal tersebut, karena di dalam negeri kurang menyediakan apa yang diperlukan konsumen, maka tidak salah kalau mereka semua memilih untuk membeli barang impor dan peluang itu dipergunakan oleh para importir,” terangnya.
Di samping itu, kata Ina, pertumbuhan kelas menengah yang pesat di Indonesia mendorong terciptanya gaya hidup yang konsumtif terhadap barang impor. Akibatnya, produk ponsel impor lebih laku di pasaran karena harganya yang juga lebih murah.
“Sebetulnya yang menjadi tantangan adalah apakah negara lain yang akan terus memanfaatkan pasar domestik [Indonesia]? Kapan negara kita mencoba untuk juga memproduksi sendiri?”