BISNIS.COM, PEKANBARU— Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menampik perkebunan sawit menjadi faktor utama kerusakan lingkungan di Indonesia dengan menerbitkan buku bertajuk Indonesia dan Perkebunan Sawit dalam Isu Lingkungan Global.
Menurut Tungkat Sipayung pengurus GAPKI Pusat, buku ini diterbitkan untuk menghadapi isu lingkungan yang dikaitkan dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, lanjutnya, GAPKI ingin memberikan informasi kepada masyarakat terkait isu lingkungan.
“Sekarang isu yang berkembang Indonesia contributor emisi GHG, Indonesia deforester hutan terbesar, Indonesia pengkonversi lahan gambut terbesar di dunia, dan lainya, semua itu menurut analisis kami tidak benar,” katanya saat bedah buku Indonesia dan Perkebunan Sawit dalam Isu Lingkungan Global di Hotel Premiere Pekanbaru, Selasa (28/5/2013).
Buku yang disusun Tim Penulis GAPKI tersebut mengatakan Indonesia tidak termasuk ke dalam 10 negara di dunia sebagai penghasil emisi CO2 maupun dalam enam besar negara penghasil emisi GHG. Data dari UNFCCC dan International Energy Agency 2011 serta Intergovermental Panel on Climate Change 2010 menyebutkan Indonesia hanya menyumbang emisi CO21,3% dan hanya 2,7% menyumbang emisi GHG.
Buku tersebut juga mencatat Indonesia juga bukan negara deforester terbesar di dunia. Pernyataan ini diperkuat dari penelitian Mathew pada 1983 dan data FAO pada 2005 dan 2010 yakni periode 1980-2005 hutan negara hutan non tropis berkurang 268 juta hektare, sementara negara hutan tropis bertambah seluas 401 hektare.
“Artinya Indonesia sebagai negara hutan tropis tidak menjadi deforester terbesar, ternyata negara non tropis seperti Eropa dan Amerika sebagai deforester terbesar,” lanjutnya.
Soal Indonesia pengkonversi lahan gambut terbesar di dunia, GAPKI juga menampik. Data dari Wetland Internasional pada 2009 menyebutkan pengurangan hutan di lahan gambut yang mencapai 95% terjadi di Australia-Pasifik, Eropa dan Rusia, sedangkan Indonesia relatif kecil.
Secara sosiologis, GAPKI menilai perkebunan kelapa sawit saat ini telah memberikan lapangan pekerjaan kepada sekitar 4 juta kepala keluarga.
“Jika dihitung keseluruhan dari hilir, hulu dan penyedia jasa termasuksuplier barang dan jasa, maka ada sekitar 6,7 juta kepala keluarga,” terangnya.
Dikesempatan lain, Wisnu O Suharto Ketua GAPKI Riau mengatakan Provinsi Riau perlu memaksimalkan area hak pengguna lain (HPL) yang telah di tetapkan untuk perkebunan sawit, meskipun HPL tersebut ada di lahan gambut.
“Kita sepakat moratorium hutan lindung dan kawasan konservasi, tetapi jika ada HPL yang sudah ditetapkan kenapa kita tidak manfaatkan untuk perkebunan sawit, karena secara teori area itu bisa dimanfaatkan untuk perkebunan sawit,” katanya.
Sekarang yang kita perlukan, lanjutnya, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau harus segera ditetapkan sehingga para pengusaha yang ingin membuka lahan perkebunan sawit baru bisa merealisasikannya.
“RTRWP yang masih belum fix kita harapkan rampung sehingga tidak menghambat pembangunan ekonomi sektor perkebunan sawit,” jelasnya. (ltc)