JAKARTA: Pekerja transportasi meminta pembinaan kompetensi dan peningkatan kesejahteraan buruh pelabuhan idealnya menjadi tanggung jawab operator pelabuhan/PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Kordinator International Transportworkers Federation (ITF) Regional Asia Pasific, Hanafi Rustandi, mengatakan tidak berjalannya sistem pembinaan tenaga kerja bongkar muat atau buruh pelabuhan selama ini karena masih dibawah kewenangan Kementerian Perhubungan cq Administrator Pelabuhan maupun kantor Syahbandar di Pelabuhan setempat. “Padahal operator pelabuhan yang lebih mengetahui bagaimana tingkat kebutuhan buruhnya di suatu pelabuhan. Selain itu kan, ada anggaran pembinaan yang memang di alokasikan untuk buruh pelabuhan dari hasil aktivitas bongkar muat,” ujarnya kepada Bisnis,pagi hari ini Jumat (14/9). Dia mencontohkan, di Pelabuhan Tanjung Priok saja jumlah buruh pelabuhan terlalu banyak sehingga mereka hanya bisa kerja maksimal 15 hari selama satu bulan dengan penghasilan rata-rata Rp.600 ribu/bulan. Hanafi mengatakan, operator pelabuhan dan perusahaan bongkar muat (PBM) perlu lebih transparan menyangkut alokasi dana pembinaan terhadap buruh pelabuhan tersebut yang disisihkan dari biaya bongkar muat. “Umumnya selama ini buruh pelabuhan hanya diperintahkan bekerja oleh mandor/kepala regu dengan upah borongan,” paparnya. Untuk itu, sistem dan mekanisme amprah buruh (penggunaan buruh) di suatu Pelabuhan perlu di sempurnakan.
“Tidak seperti sekarang serba tidak jelas sebab kalau ada pekerjaan mereka (buruh) bekerja, kalau tidak ya menganggur,” paparnya. Hanafi mengatakan, keberadaan buruh pelabuhan masih sangat dibutuhkan kendati beberapa pelabuhan utama di Indonesia telah menerapkan sistem tehnologi canggih pada fasilitas dan peralatan bongkar muat.“Untuk barang non peti kemas peran buruh pelabuhan masih sangat vital,” ujar dia.(K1/Bsi)