Bisnis.com, JAKARTA – Akademisi menilai krisis pangan yang saat ini menjadi isu global tidak akan terjadi di Indonesia. Bagaimana bisa?
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Muhammad Firdaus menyampaikan bila menengok definisi krisis pangan saat pertama kali dicetuskan pada 2008, yakni terjadi saat harga pangan naik lebih dari 50 persen.
“Untuk definisi krisis pangan seperti itu, ini tidak terjadi di Indonesia, tetapi meskipun harga kenaikan pangan Indonesia tidak lebih dari 50 persen, cabai telah naik karena perubahan iklim,” paparnya dalam Bincang Pembangunan Tantangan dan Upaya Pencapaian Kedaulatan dan Kemandirian Pangan Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Jakarta, Senin (5/12/2022).
Melihat tren harga pangan sepanjang 2022, berdasarkan data harga dalam Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, hingga 4 Desember 2022, kenaikan tertinggi terjadi pada bawang merah (30,18 persen) dan tepung terigu (25,96 persen).
Isu food crisis atau krisis pangan mulai kembali mencuat ketika Organisasi Pangan Dunia (FAO) melaporkan terjadi peningkatan jumlah rawan pangan di 53 negara sebanyak 193 uta orang (naik 40 juta dari 2020).
“Somalia sorgum naik 125 persen, Afrika Barat harga sorgum naik 85 persen, Ethiopia harga jagung dan gandum naik 87 persen dan 79 persen,” jelas Firdaus.
Adapun akar permasalahan penambahan jumlah negara rawan pangan akibat terjadinya perang di Rusia-Ukraina yang memicu tersendatnya rantai pasok. Rusia merupakan pemasok pupuk terbesar, Ukraina adalah pemasok gas terbesar bagi 'Negeri Beruang Merah'.
Selain itu, kondisi perubahan iklim juga perlu diwaspadai, terutama Indonesia yang diprediksi akan mengalami El Nino (musim kering) pada 2023 dan dikhawatirkan akan mengganggu produksi pangan dalam negeri.
Untuk itu Firdaus menegaskan bahwa tidak ada solusi lain bagi Indonesia untuk mengamankan pasokan pangan, yaitu dengan melakukan adaptasi dan mitigasi salah satunya dengan strategi end-to-end hingga hilir.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Muhammad Saifulloh meyakinkan bahwa inflasi Indonesia masih lebih rendah dari negara lainnya bahkan Eropa dan Amerika Serikat.
Berangkat dari hal tersebut, dirinya menyampaikan bahwa Indonesia masih memiliki harapan besar untuk memenuhi pangan dalam negeri, meskipun sebagian masih impor.
“Dalam G20 kemarin salah satu catatan oleh Kementerian Pertanian adalah bagaimana adanya terjadi keseimbangan antara permintaan dan pasokan pangan, jadi perang itu tidak boleh mengganggu akses pangan di negara-negara berkembang terhadap negara produsen pangan tertentu,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menekankan agar Indonesia jangan terlalu percaya diri dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional, meski ekonomi Indonesia tumbuh positif.
Moeldoko menegaskan hal yang dia maksud adalah jangan sampai menggampangkan soal pemenuhan komoditas pangan lewat impor. Pasalnya, banyak negara yang saat ini menerapkan kebijakan pembatasan ekspor pangan.
“Jadi jangan terlalu percaya diri, kami punya duit bisa beli. Namun, di kondisi lingkungan global, sangat mungkin kami tidak bisa impor,” paparnya.
Menurutnya, kebijakan larangan ekspor pangan sejumlah negara sudah terjadi sejak perang Rusia-Ukraina berlangsung sebagai upaya masing-masing mengamankan pangan domestik. Untuk itu, bisa jadi Indonesia tidak dapat membeli komoditas yang masih impor, seperti kedelai, gandum, hingga pupuk, karena kebijakan domestik negara lain tersebut.
Di sisi lain, Moeldoko yang juga sebagai Ketua Perhimpunan Kerukunan Tani Indonesia sepakat dengan Guru Besar IPB Muhammad Firdaus, bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan potensi fenomena El Nino atau kekeringan pada 2023.
“Saya khawatir pada 2023 terjadi El Nino, maka kekeringan akan kita hadapi, kegagalan pangan sangat mungkin terjadi, akan terjadi kebakaran di mana-mana. Kami sudah tahu situasi itu, untuk itu, Pak Jokowi dari awal sudah menekankan untuk mencari alternatif [ekstensifikasi dan intensifikasi],” jelasnya.
Ketahanan Pangan RI
Baca Juga