Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia semakin menunjukkan keseriusannya untuk mengakhiri dominansi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara dalam sistem kelistrikan dalam negeri. Namun, dibutuhkan ongkos jumbo untuk mewujudkan komitmen itu dan beralih ke teknologi pembangkit berbasis energi terbarukan.
Kebutuhan dana untuk investasi beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) sampai dengan 2060 ditaksir mencapai US$1 triliun. Biaya transisi energi itu berpotensi meningkat seiring diterapkannya kebijakan pensiun dini PLTU.
Dalam wawancaranya dengan Bloomberg pada September 2022 lalu, Menteri BUMN Erick Thohir juga sempat menyebut bahwa untuk melakukan phase out atau menghentikan secara bertahap operasional PLTU sampai dengan kapasitas 15 gigawatt (GW) dan menggantinya dengan kapasitas yang sama pembangkit listrik EBT, dibutuhkan biaya sekitar US$600 miliar.
Besarnya kebutuhan dana membuat pemerintah dan PT PLN (Persero) aktif menjajaki peluang kerja sama pendanaan dari sejumlah negara dan lembaga keuangan internasional untuk membantu membiayai transisi energi di dalam negeri.
Kabar teranyar, Pemerintah Indonesia disebut telah mengamankan kesepakatan pendanaan sekitar US$15-US$20 miliar atau sekitar Rp235,51-Rp314,02 triliun (asumsi kurs Rp15.701) dari kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang.
Dilansir dari Bloomberg, Minggu (13/11/2022), kesepakatan tersebut akan diumumkan pada KTT G20 di Bali pekan depan, setelah pembicaraan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden AS Joe Biden.