Bisnis.com, JAKARTA – Setelah lepas dari sentimen negatif akibat pandemi Covid-19, industri ritel modern di Indonesia saat ini justru diliputi oleh bayang-bayang tekanan dari naiknya tingkat inflasi nasional. Namun, hal itu tampaknya tidak menyurutkan minat investor dari kawasan Timur Tengah untuk berinvestasi di industri ritel modern.
Adapun, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan bahwa kenaikan inflasi akan menjadi ancaman pegusaha di industri ritel modern. Apalagi, kata dia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sedang melemah sehingga akan menjadi salah satu pengganggu pertumbuhan industri ritel modern.
“Kalau bicara inflasi musuhnya ritel. Kenapa? Karena ada pengurangan daya beli. Nilai tukar rupiah kita turun. Jika orang membeli dapat dua barang, sekarang satu barang dan itu akan mengurangi produktivitas ritel,” ujarnya, Minggu (9/10/2022).
Saat ini, dia menyatakan bahwa para peritel berkonsentrasi untuk menjaga arus kas. Hal tersebut, menurutnya, menjadi salah satu sumber agar ritel tetap mamu berekspansi ke depannya.
“Tanpa cashflow jangan mimpi profit. Kemudian ekspansi karena satu-satunya pertumbuhan dalam ritel adalah expansion,” ujar dia.
Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan indeks harga konsumen (IHK) pada September 2022 mengalami inflasi sebesar 1,17 persen secara month to month (mtm) setelah pada bulan sebelumnya mengalami deflasi sebesar 0,21 persen (mtm).