Bisnis.com, JAKARTA – Janji negara kaya soal penanganan dan pembiayaan perubahan iklim nyatanya hanya manis di bibir. Negara-negara yang kini haus batu bara dan gas itu, masih geleng-geleng kepala untuk menanggung sebagian beban pembiayaan iklim negara berkembang dan miskin.
Kapal-kapal tongkang batu bara tampak mengantre dan menyebabkan kemacetan panjang di pelabuhan kawasan Antwerp-Rotterdam-Amsterdam (ARA), pusat trasportasi energi dan komoditas di Eropa. Kapal-kapal tongkang itu membawa batu bara kalori tinggi dari Australia dan yang berkualitas lebih rendah dari Indonesia.
Situasi semacam itu belum pernah terlihat sejak 2019, dengan impor batu bara di kawasan itu telah melonjak 35 persen menjadi 26,9 juta selama kuartal pertama tahun ini.
Lonjakan impor batu bara Eropa seolah menjadi perpanjangan tangan dari keputusan negara-negara G7 yang telah membatalkan komitmen penyetopan pembiayaan fosil. Apalagi alasannya jika bukan krisis energi menyusul pemblokiran pasokan energi dari Rusia, padahal musim dingin sudah di depan mata.
Sampai Mei 2022, gaung suara untuk menegakkan upaya menanggulangi dampak perubahan iklim masih terdengar, sebelum terbungkam saat KTT G7 di Jerman pada 26-28 Juni 2022.
Negara-negara kaya juga masih menggantung janjinya untuk memobilisasi pendanaan US$100 miliar per tahun bagi negara miskin untuk menangani perubahan iklim. Komitmen yang diteken pada 2009 saat KTT Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen itu, semestinya terwujud pada 2020.