Bisnis.com, JAKARTA – Sikap ‘mundur’ yang diambil oleh negeri maju seolah menjadi sinyal menjanjikan bagi industri pertambangan, terutama batu bara. Sinyal itu tak terkecuali juga menyala terang di Indonesia.
Seperti diketahui, dalam pertemuan terakhir pada pertengahan bulan ini, negara anggota Group of 7 (G7) menyepakati sebuah kompromi untuk membatalkan komitmen penyetopan pembiayaan bahan bakar fosil.
Kondisi geopolitik yang terjadi saat ini, seolah ‘memaksa’ mereka membuka kembali pintu investasi dan pendanaan ke sektor fosil. Usulan pertama datang dari Kanselir Jerman Olaf Scholz yang memegang kepresidenan G7 tahun ini. Inggris sejatinya menentang proposal Scholz, meski pada akhirnya para pemimpin G7 tetap menyetujui kompromi tersebut.
Sikap ini kontras dengan pernyataan mereka pada 12 bulan lalu. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Carbis Bay, Inggris, negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Italia, Jerman, Jepang, dan Kanada mengatakan akan mengakhiri investasi luar negeri di sektor batu bara.
Di sisi lain, negara maju yang mayoritas berada di jajaran G7 bahkan juga turut serta mendorong negara produsen energi nonterbarukan seperti batu bara, untuk segera melakukan peralihan. Indonesia dalam hal ini turut menjadi sorotan negara maju itu.
Sekadar informasi, sejak mendeklarasikan rencana untuk mencapai target net zero emission 2060, pada tahun lalu, beberapa utusan negara maju telah berkunjung ke Indonesia. Mereka menawarkan sejumlah bantuan dan kerja sama dalam mencapai target netralitas karbon tersebut. Salah satu sasaran bantuan tersebut adalah penurunan secara signifikan terhadap penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.