Bisnis.com, JAKARTA — Berkembangnya aset digital seperti non fungible token atau NFT dan koin kripto membuka potensi pajak yang besar bagi negara. Sayangnya, belum ada perangkat kebijakan yang komprehensif mengenai pengenaan pajak aset digital tersebut.
Aset digital telah lama dilirik sebagai instrumen investasi dan komoditas perdagangan, terutama sejak berkembangnya bitcoin dan berbagai mata uang kripto (cryptocurrency) lainnya. Setelah itu berkembang pula NFT sebagai sertifikat kepemilikan aset digital, seperti karya visual.
Di Indonesia, aset digital itu semakin menjadi perbincangan ketika Sultan Gustaf AL Ghozali berhasil menjual NFT kumpulan potret dirinya dari 2017 hingga saat ini. Projek kumpulan foto yang dinamai 'Ghozali Everyday' itu dikabarkan menjadi cuan hingga Rp1,5 miliar bagi dirinya.
Melalui akun Twitternya @Ghozali_Ghozalu, dia menyampaikan berbagai kesan atas besarnya perhatian terhadap proyek Ghozali Everyday. Cuitan Ghozali kemudian mendapatkan respons dari akun resmi Twitter Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), yang menginformasikan petunjuk pelaporan aset untuk keperluan perpajakan.
Congratulations, Ghozali!Here is a link where you can register your TIN: https://t.co/63kn2Spy5QCheck out this link for more information about TIN: https://t.co/5gJFmHaK3yIf you need help, kindly ask @kring_pajak.We wish you the best of luck in the future.~~ https://t.co/j6jNkKH5fi
Masyarakat sontak menyoroti upaya pemajakan terhadap NFT dan aset digital setelah adanya cuitan Ditjen Pajak terhadap Ghozali itu. Hal tersebut semakin 'memanaskan' isu pajak aset digital sejak pada awal tahun ini, Ditjen Pajak menyatakan bahwa aset NFT wajib masuk dalam surat pemberitahuan (SPT) Tahunan.