Bisnis.com, JAKARTA — Pada 16 Agustus 1997, Presiden Ke-2 Republik Indonesia Soeharto menyampaikan pidato kenegaraan di tengah situasi menuju salah satu krisis terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
“Kesempatan ini adalah pertemuan terakhir saya selaku Presiden dengan Dewan yang terhormat. Tugas kepresidenan saya akan berakhir pada saat saya menyampaikan Pidato Pertanggungjawaban Mandataris kepada MPR hasil pemilihan umum, Maret tahun depan,” katanya di bagian akhir pidatonya.
Pidato yang disampaikan Soeharto saban tahun sejak 1967 itu sedikit berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pidatonya kali ini banyak menyinggung masalah ekonomi, khususnya situasi moneter dalam negeri.
Wajar saja, kala itu Indonesia tengah menuju krisis moneter yang mengerikan. Sebulan sebelumnya, atau pada 2 Juli 1997, Thailand memutuskan mengambangkan mata uangnya setelah menghadapi serangan spekulan terhadap cadangan devisa negara tersebut.
Soeharto dalam pidatonya menyebutkan guncangan dan gejala spekulasi dari waktu ke waktu akan selalu ada. Kuncinya, menurut dia adalah pada ketahanan ekonomi nasional, ketahanan pelaku usaha, kepercayaan diri, dan kesatuan pandangan antara pemerintah dan pelaku ekonomi.
“Kita melihat kurs atau apapun dapat berubah cepat. Perubahan kurs satu mata uang dengan cepat dapat merembet ke berbagai mata uang lain. Kenyataan ini tidak dapat dihindari oleh negara manapun, oleh pelaku ekonomi manapun,” katanya seperti dikutip dari pemberitaan Bisnis Indonesia pada Senin (18/7/97).