Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai program Tol Laut tidak semata-mata berbicara soal subsidi pemerintah, tetapi juga soal keadilan antara wilayah Indonesia timur dan barat.
Demikian intisari buku berjudul Memadu Tol Darat dan Laut, Menggugah Keadilan Distributif dan Komutatif yang ditulis Ansel Alaman, politikus PDI Perjuangan.
Dari aspek keadilan distributif, tutur Ansel, kawasan timur memang tidak berkontribusi sebesar kawasan barat terhadap perekonomian Indonesia, misalnya dalam hal produk domestik bruto, penerimaan pajak, atau devisa negara. Maka tidak heran, jika program kereta commuter line (KRL) Jabodetabek disuntik subsidi di atas Rp1 triliun per tahun.
Namun, bagaimanapun juga, kebutuhan dasar masyarakat kawasan timur, seperti pangan, sandang, dan papan, harus tetap terpenuhi dengan harga yang setara dengan nilai yang ditebus masyarakat di kawasan barat.
Di sinilah keadilan komutatif berlaku tanpa memperhitungkan 'jasa' suatu daerah. Pemerintah selama 4 tahun terakhir menyuntikkan subsidi untuk operasional kapal Tol Laut ke daerah luar Jawa sehingga harga barang dapat ditekan begitu sampai pelabuhan tujuan.
Sejak program Tol Laut diluncurkan, subsidi program itu terus dinaikkan. Pada 2016, subsidi hanya Rp218,9 miliar, lalu naik menjadi Rp355 miliar pada 2017. Alokasi kian besar pada 2018 senilai Rp447,6 miliar. Namun, alokasi turun tahun ini dengan nilai hanya Rp222 miliar.
"Persoalan tersebut menjadi dasar dan telah diupayakan solusinya oleh pemerintah dan legislatif," katanya dalam acara bedah buku, Jumat (12/4/2019).
Ansel mengusulkan agar program Tol Laut dilanjutkan, tetapi seluruh pemangku kepentingan diharapkan meningkatkan inovasi berbasis produk pertanian, peternakan, dan perikanan lokal, sehingga kapal Tol Laut membawa balik muatan dari timur. Dengan demikian, perekonomian daerah tujuan tol laut pun terakselerasi.