Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu

Hasil hutan bukan kayu dipersiapkan menjadi primadona baru di sektor industri kehutanan pada masa depan. Klasterisasi industri kehutanan dan pola kemitraan menjadi salah satu senjata utama untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar (kiri) menyapa warga yang hadir dalam Festival Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tingkat Nasional dan Pameran Usaha Kehutanan yang berlangsung di Hutan Pinus, Mangunan, Dlingo, Bantul, Jumat (28/09/2018)./JIBI-Desi Suryanto
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar (kiri) menyapa warga yang hadir dalam Festival Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tingkat Nasional dan Pameran Usaha Kehutanan yang berlangsung di Hutan Pinus, Mangunan, Dlingo, Bantul, Jumat (28/09/2018)./JIBI-Desi Suryanto

Bisnis.com, JAKARTA - Hasil hutan bukan kayu dipersiapkan menjadi primadona baru di sektor industri kehutanan pada masa depan. Klasterisasi industri kehutanan dan pola kemitraan menjadi salah satu senjata utama untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mematok produksi hasil hutan bukan kayu (HHBK) atau produk nonkayu pada 2020 mencapai 718.847,97 ton dari baseline 2019 yang hanya 342.819,17 ton.

Johan Utama Perbatasari, Direktur Usaha Jasa Lingkungan dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) KLHK mengatakan bahwa saat ini produk nonkayu dan jasa lingkungan sedang dicanangkan untuk menjadi tulang punggung pembangunan kehutanan secara nasional.

Pasalnya, dia menambahkan, potensi produksi HHBK diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil produksi kayu bulat, tetapi sampai saat ini potensi-potensi tersebut belum terekspos secara masif.

“Kenapa begitu? Karena memang perhatian dari segala macam stakeholder masih bertumpu kepada kayu. Padahal apabila dibenahi maka sumbangsih [terhadap devisa negara] dari HHBK dan Jasa Lingkungan itu sangat besar,” ujarnya, belum lama ini.

Dikutip dari buku Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018, data dari berbagai pustaka dan publikasi ilmiah yang menyebutkan bahwa nilai devisa HHBK dapat mencapai 90% dari nilai hasil hutan. Dimana kayu yang selama ini identik menjadi hasil kehutanan hanya menyumbang 10% dari produksi hasil kehutanan.

Akan tetapi, HHBK sebesar 90% tersebut tidak akan tercipat apabila kayu (pohon) sebagai  pembentuk ekosistem hutan tidak ada.

“Itu yang akan kami angkat dan kami dorong, sekaligus untuk memenuhi nawacita Presiden Joko Widodo yang mencanangkan pembangunan dari pinggiran, maka ini saatnya melalui pinggiran [melalui HHBK dan Jasa Lingkungan],” katanya.

Menurut data KLHK hasil pendapatan HHBK yang dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) pada periode 2015—2017 menunjukkan  angka yang relatif sama, yakni Rp15,85 miliar (pada 2015) dan Rp15,41 miliar (pada 2016). Pada 2017 sumbangan HHBK untuk PSDH adalah sebesar Rp15,76 miliar.

Sumber produksi HHBK sebagian besar berasal dari pemegang konsesi hutan tanaman industri dan Perum Perhutani, yakni berupa getah-getahan dan daun kayu putih, sedangkan dari Kesatuan Pengelolaan Hutan masih sangat kecil yakni sebesar 1% dari total produksi.

Tercatat, produksi HHBK hingga bulan  Agustus 2018 yang berasal dari KPH adalah sebesar 1.436,14 ton yang berasal dari 29.000 batang pepohonan dan 740,01 liter air. Total produksi HHBK pada 2018 tercatat sebanyak 358.800 ton.

Kemungkinan, tambah Johan, hal itu terjadi karena ada KPH yang sudah memproduksi HHBK namun belum melaporkan hasil produksi mereka kepada KLHK.

Oleh karena itu, demi menggenjot produksi HHBK, Johan mengatakan pemerintah telah menyiapkan dua skema.

Pertama, dari segi skema perizinan KLHK telah mengeluarkan dua peraturan menteri (Permen) yakni Permen LHK Nomor 54/2016 tentang Tata Cara Pemberian dan Perpanjangan Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu atau Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Negara

Lalu, adapula Permen Nomor 66/2016 tentang Tata Cara Pemberian dan Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Alam atau dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.

Permen LHK Nomor 54/2016  mengatur bahwa Izin Pemungutan HHBK (IPHHBK) diberikan kepada perorangan untuk memungut untuk HHBK, misalnya rotan, gaharu, damar, dan sebagainya), dengan jangka izin 1 (satu) tahun dan volume paling banyak 20 ton.

Adapun, Permen LHK nomor 66/2016 mengatur bahwa Izin Usaha Pemanfaatan HHBK (IUPHHBK-HA/HT) diberikan kepada BUMN/S/Koperasi pada areal yang tidak  dibebani izin untuk luasan dan jangka waktu tertentu untuk mengusahakan HHBK misalnya getah pinus, sagu, nipah, dan lain sebagainya.

Kedua adalah mendorong skema kerja sama dengan para investor, yang diatur dalam Permen LHK Nomor 49/2017 tentang Kerjasama Pemanfaatan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH.

KPH dapat melakukan kerjasama pemanfaatan hutan dengan para investor baik itu dari BUMN, Koperasi, Masyarakat Setempat dan sebagainya untuk melakukan pemanfaatan getah pinus, pemanfaatan rotan, jasa wisata alam, dan lain-lain.

“Jadi mereka tidak boleh menebang kayu tapi mereka dapat memanfaatkan ruang-ruang di antara pohon-pohon [untuk mengembangkan HHBK],” jelasnya.

Selain didukung dari segi regulasi, guna mensukseskan target baseline produksi HHBK pada 2020 yang diproyeksikan oleh KLHK mencapai sekitar 718.848 ton,  ada sejumlah langkah strategis yang akan diambil. Pertama, KLHK akan menggalakkan pencatatan produksi HHBK secara menyeluruh, pelaporan yang dilakukan secara terus-menerus atas produksi HHBK di setiap unit usaha sekaligus memastikan pembayaran provisi yang terintegrasi.

Kedua, KLHK akan mendorong pembentukan usaha HHBK skala industri melalui perencanaan yang dapat mengintegrasikan hulu dan hilir (klasterisasi industri pengolahan HHBK). Ketiga, pengembangan kemitraan antara  masyarakat dan KPH.

Johan juga mengatakan hal lain yang harus menjadi perhatian adalah adanya kesamaan persepsi dari para Kementerian/Lembaga agar HHBK dan jasa lingkungan dapat menjadi primadona dunia bisnis kehutanan Indonesia di masa mendatang.

JARINGAN

Dirjen PHPL KLHK Hilman Nugraha menjelaskan kelompok getah, kelompok buah-buahan, kelompok biji-bijian dan kelompok daun merupakan komoditas dengan produksi terbesar dari HHBK.

“[Selain itu] madu juga bisa, kayu gaharu juga bisa, damar mata kucing juga bisa, dan masih banyak lagi,” jelasnya saat ditemui di Jakarta, Selasa (22/1).

Produksi dari kelompok getah masih menjadi primadona dalam peningkatan produksi HHBK setiap tahunnya, di mana sampai bulan Desember tahun lalu tercatat kelompok getah (getah karet, getah Pinus, getah damar dan sebagainya) berhasil menyumbangkan sebanyak 119.594 ton untuk produksi HHBK.

Kemudian disusul kelompok biji-bijian (kopi, coklat dan sebagainya) yang berhasil menyumbangkan sebanyak 82.828 ton.

Menilik target tersebut, pelaku usaha kehutanan menyampaikan tantangan utama dalam menggenjot produksi HHBK dan jasa lingkungan adalah jaringan pemasaran dan standar produk terutama pada komoditas yang akan diekspor.

Direktur eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Suprihanto menjelaskan dari sisi jaringan pemasaran pihaknya berharap ada fasilitasi Pemerintah untuk membuka jaringan dengan produsen dan industri pengolah produk nonkayu itu.

“[Hal itu perlu dilakukan] untuk memastikan serapan pasar dari produk- produk sektor hulu,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (24/1).

Purwadi menyampaikan berdasarkan hasil identifikasi APHI, komoditas HHBK yang akan diprioritaskan produktivitasnya oleh para anggota APHI antara lain getah karet, jelutung, damar dan pinus, kemudian bambu, resin, kayu putih, sereh wangi, nilam, madu, kopi, dan aren.

Selain itu, Purwadi juga berharap standard yang diberlakukan untuk hasil olahan produk HHBK nanti akan cukup ketat. “Perlu ada standard nasional seperti SNI untuk memperkuat positioning ekspor produk HHBK Indonesia,” ujarnya.

APHI sendiri berharap pengembangan HHBK dan Jasa Lingkungan adalah dengan  diversifikasi produk agar memperkuat keragaan bisnis kehutanan hasil hutan kayu.

Menarik untuk menyimak perkembangan calon primadona baru ini dalam menopang kinerja industri berbasis kehutanan nasional supaya tak lagi terlalu bertumpu pada kayu dan hasil kayu.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper