Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pasokan Bahan Baku Terganggu, Tekstil Butuh Investasi Baru di Hulu

Sejauh ini kemacetan suplai bahan baku masih dapat diatasi dengan importasi. Namun ke depan dibutuhkan satu pabrikan baru produsen polyester dan purified terephthalic acid (PTA).
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA - Industri tekstil membutuhkan investasi baru di sektor hulu untuk mengatasi kendala pasokan bahan baku dari dalam negeri yang kemudian mengerek impor serat dan benang.

Ketua Umum Asosiasi Serat, Benang, dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan sejauh ini kemacetan suplai bahan baku masih dapat diatasi dengan importasi. Namun ke depan dibutuhkan satu pabrikan baru produsen polyester dan purified terephthalic acid (PTA).

Kementerian Perindustrian mencatat produsen PTA di dalam negeri hanya ada dua industri, salah satunya Mitsubishi Chemical yang mengalami kebakaran pada Februari 2022.

PTA diketahui menjadi bahan baku utama pembuatan produk-produk tekstil seperti polyester dan polietilena terephthalate (PET). Nantinya, produk turunan PTA itu akan dijadikan bahan baku pembuatan benang dan serat fiber yang berguna bagi industri hilir tekstil.

"Ke depan harus ada tambahan investasi baru di bahan baku karena demand makin lama makin tinggi," kata Redma kepada Bisnis, Kamis (21/4/2022).

Harus ada kapasitas terpasang yang agak longgar untuk mengantisipasi masalah kemacetan produksi karena insiden tertentu atau perawatan rutin.

Dalam dua tahun ke depan, kapasitas tambahan produksi polyester diperkirakan sekitar 150.000 ton hingga 200.000 ton. Sedangkan hingga 2025 kebutuhannya bisa sampai 500.000 ton. Adapun, kebutuhan kapasitas produksi PTA berkisar 300.000 ton hingga 350.000 ton.

"Artinya kami perlu satu pabrik [bahan baku] lagi," lanjutnya.

Sementara itu, untuk menarik investasi baru, Redma menekankan pentingnya pengendalian impor, khususnya di produk hilir. Pasalnya, untuk membangun pabrik baru, dibutuhkan kepastian imbal hasil dalam waktu 10 tahun. Tanpa pengendalian impor yang memadai, kepastian pasar tidak akan terjadi sehingga investasi baru pun urung masuk.

Adapun, yang saat ini menjadi kekhawatiran pengusaha adalah masuknya barang-barang impor ilegal jelang Lebaran melalui marketplace. Hal itu diakuinya menjadikan optimisme pengusaha surut karena penyerapan produk dalam negeri di pasar ritel berpeluang untuk terganggu.

"Yang jadi masalah barang-barang impor ikut nimbrung, terutama yang di online shop. Itu yang bikin kami agak was-was, bisa tidak barang yang kami simpan di ritel di-absorb pasar," kata Redma.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Editor : Farid Firdaus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper