Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sejumlah Persoalan Jadi Penghambat Penerapan Zero ODOL

Sejumlah hal dinilai menjadi penghambat penyelesaian persoalan over dimension over load (ODOL) di Indonesia.
Truk sarat muatan atau over dimension over load (ODOL) melintas di jalan Tol Jagorawi, Jakarta, Selasa (14/4/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Truk sarat muatan atau over dimension over load (ODOL) melintas di jalan Tol Jagorawi, Jakarta, Selasa (14/4/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta menyelesaikan beberapa masalah sebelum menerapkan Zero ODOL (Over Dimension Over Load). Apabila hal itu tidak dibenahi, maka persoalan ODOL diperkirakan terus terjadi.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono, mengatakan salah satu problem yang harus diselesaikan pemerintah adalah masalah status dan fungsi jalan yang masih karut-marut dan tidak jelas. Menurutnya, hal tersebut merupakan problem klasik yang masih belum diselesaikan hingga saat ini.

“Masalahnya, pabrik untuk komoditas ekspor itu tidak ada yang berada di kota. Semua berada di desa atau kecamatan,” katanya, Minggu (10/4/2022).

Dengan demikian, katanya, ketika mengangkut barang dari pabrik-pabrik itu menuju pelabuhan utama, truk-truk tersebut akan melewati jalan yang statusnya beda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional).

"Tidak hanya statusnya, truk-truk itu juga pasti akan melalui jalan-jalan yang fungsinya juga berbeda. Mulai lingkungan primer atau jalan lokal, kolektor 3 atau jalan kabupaten, kolektor 2 atau jalan provinsi, dan kolektor 1 atau jalan arteri," lanjutnya.

Selain fungsi dan status, kelas jalan yang dilalui truk dari pabrik menuju pelabuhan utama juga berbeda. Menurutnya, terdapat tiga kelas jalan yakni kelas 3, kelas 2, dan kelas 1.

Saat melalui jalan yang berbeda-beda itu, truk-truk itu tida mungkin akan menurunkan barang-barang bawaannya saat akan pindah jalan. Apalagi, saat membongkar muatannya itu, dibutuhkan yang namanya terminal handling sebagai tempau untuk mengumpulkan barang-barang yang kelebihan muat.

 “Masalahnya, terminal handling ini tidak pernah ada karena memang tidak diwajibkan dalam undang-undang,” tukas Agus.

Fakta-fakta tersebut yang menurut Agus akhirnya membuat jalan-jalan itu. Khususnya jalan yang ada di kabupaten banyak yang rusak karena harus dilalui truk-truk besar.

“Jadi, karut-marut antara kelas, fungsi dan status jalan inilah sebetulnya yang menjadi penyebab hancur-hancuran jalan itu. Artinya, penerapan kelas jalan itu tidak sesuai dengan penerapan status jalannya,” tukas Agus.

Menurut Agus, hal tersebut terjadi lantaran tidak adanya keselarasan antara UU Jalan dengan UU Lalu Lintas tidak pernah sinkron.

“Di pasal 19 UU Lalu Lintas tentang Kelas Jalan, dikaitkan dengan fungsi jalan, dikaitkan status jalan, tidak pernah ketemu. Jadi, masalah ODOL ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mau diselesaikan pakai apa?” ucapnya.

Suripno dari Indonesia Road Safety Partnership (IRSP) juga mempertanyakan soal siapa yang sebenarnya yang bertanggung jawab menetapkan kelas jalan itu. Menurutnya, sesuai undang-undang, yang menetapkan kelas jalan itu adalah Menteri PUPR.

Namun demikian, lanjutnya,  tidak ada kata-kata yang menjelaskan bahwa yang ditetapkan itu untuk membangun jalannya atau untuk pelarangan penggunaan jalannya juga.

“Akibatnya, terjadinya masalah sampai sekarang, di mana PU menetapkan kelasnya dan Menteri Perhubungan yang harus menetapkan larangan penggunaan berdasarkan kelas jalannya. Tapi, ini juga tidak dijalankan. Akhirnya, yang terjadi adalah akan sulit mencari jalan yang sudah punya kelasnya. Itu sama dengan mencari jarum dalam jerami sulitnya,” ujarnya.

Menurut Suripno, diperlukan adanya pertemuan antara Kementerian PUPR dan Kementerian Perhubungan untuk membahas hal ini. Misalnya, PU ditetapkan harus di kelas berapa supaya Menteri Perhubungan membuat aturan larangannya.

“Ini kan belum dilakukan,” katanya.

Ketua Dewan Pakar Ikatan Penguji Kendaraan Indonesia (IPKBI), Dwi Wahyono Syamhudi, bahkan mengakui bahwa dari aspek pengujian kendarannya lebih membingungkan lagi. Hal itu disebabkan pengujian kendaraan itu selalu menetapkan daya angkut itu berdasarkan kelas jalan terendah yang boleh dilalui.

“Sekarang kalau kelas jalannya nggak ada karena tidak ada rambu juga. Terus, bagaimana mengatakan bahwa truk itu overload atau tidak, kalau kelas jalannya saja nggak ada,” tukasnya.

Yang perlu dipertimbangkan juga menurut Dwi adalah keberadaan terminal handling atau barang sebagai hub untuk berpindah dari kelas jalan yang satu ke kelas jalan yang lain. “Sekarang, hubnya itu nggak ada. Dan saya belum dengar kalau pemerintah ingin membangun terminal sebagai hub,” tuturnya.

Jadi, kata Dwi, tanpa adanya hub atau terminal barang, pasti akan selalu ada pelanggaran kelas jalan.

“Truk-truk yang besar-besar itu kalau dia masuk ke dalam kelas 2, pasti melanggar. Karena panjangnya trailernya saja sudah 18 meter, sedangkan kelas 2 hanya boleh 12 meter. Kalau lagi masuk kelas 3 dari jalan industri seperti di Sukabumi dan sebagainya, itu trailer juga masuk dan sudah pasti melanggar,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper