Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom: Untung dari Batu Bara dan Sawit, Pemerintah Tak Perlu Naikkan Harga Pertamax

Hal tersebut disampaikan oleh Ekonom dan Direktur Celios Bhima Yudhistira sebagai respons atas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax. Kenaikan harga itu ditetapkan bersamaan dengan berubahnya status pertalite menjadi BBM bersubsidi.
Harga Pertamax di Riau naik menjadi Rp9.900 per liter setelah PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian seiring naiknya harga minyak dunia, Senin (2/7)./Bisnis-Arif Gunawan
Harga Pertamax di Riau naik menjadi Rp9.900 per liter setelah PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian seiring naiknya harga minyak dunia, Senin (2/7)./Bisnis-Arif Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies atau Celios menilai bahwa pemerintah sebetulnya mampu menjaga harga Pertamax dengan menambah kompensasi kepada PT Pertamina (Persero), karena negara sudah untung dari tingginya harga batu bara dan crude palm oil (CPO) secara global.

Hal tersebut disampaikan oleh Ekonom dan Direktur Celios Bhima Yudhistira sebagai respons atas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax. Kenaikan harga itu ditetapkan bersamaan dengan berubahnya status Pertalite menjadi BBM bersubsidi.

Bhima menilai bahwa sebenarnya sebenarnya pemerintah tidak perlu menaikkan harga Pertamax. Pemerintah dapat menambah dana kompensasi kepada Pertamina untuk menambal selisih tingginya harga minyak dunia dengan harga jual BBM yang masih di bawah nilai keekonomian.

"Cukup menambah dana kompensasi ke Pertamina atas selisih harga keekonomian yang makin lebar. Pemerintah dapat untung dari windfall harga minyak dunia, membuat ekspor batubara dan sawit juga menambah penerimaan negara," ujar Bhima pada Rabu (30/3/2022).

Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) mengasumsikan harga minyak di US$63, tetapi kini minyak mentah mencapai di atas US$100 per barel. Meskipun begitu, pemerintah menikmati tambahan pendapatan dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga Rp100 triliun, sehingga menurut Bhima tersedia dana untuk menambal selisih harga.

Selain itu, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang berlaku mulai 1 April 2022 pun mendorong penerimaan dan kenaikan rasio pajak. Artinya, pemerintah memiliki tambahan penerimaan dan semakin mampu untuk menjaga harga BBM, agar tidak membebani masyarakat.

"Jadi, tahan harga BBM merupakan keputusan yang rasional kalau ingin pemulihan daya beli solid," ujarnya.

Dia menilai bahwa kenaikan harga Pertamax akan berdampak signifikan terhadap pengeluaran kelas menengah. Ujungnya, kebijakan itu dapat melemahkan daya beli dan menurunkan kepercayaan terhadap konsumsi rumah tangga.

Pasalnya, kenaikan harga tidak hanya terjadi di BBM, tetapi juga barang-barang lain termasuk pangan, yang mungkin terimbas oleh kebijakan kenaikan PPN. Momentum kenaikan harga Pertamax saat bulan Ramadan dan masa mudik lebaran pun dapat menyebabkan kontraksi ekonomi.

"Masyarakat akan menunda pembelian barang lain. Jadi, BBM kalau naik itu, makan di restoran jadi berkurang, jalan-jalan jadi tertunda, bahkan kredit pemilikan rumah [KPR] rumah jadi berpikir dua kali. Banyak dampak tidak langsungnya," kata Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper