Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waspada Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi Global 2022

Dana Moneter Internasional (IMF) mengaku masih khawatir perekonomian global kehilangan momentum gegara resesi akibat pandemi Covid-19 yang sangat kuat pada tahun lalu.
Kantor pusat Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington D.C., AS/ Bloomberg - Andrew Harrer
Kantor pusat Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington D.C., AS/ Bloomberg - Andrew Harrer

Bisnis.com, JAKARTA - Pemulihan ekonomi pada 2022 diproyeksi tak akan semulus yang diharapkan. Gegap gempita tahun baru masih dihantui oleh ancaman inflasi dan kesenjangan pertumbuhan yang semakin menggerus negara miskin.

Dana Moneter Internasional (IMF) mengaku masih khawatir perekonomian global kehilangan momentum gegara resesi akibat pandemi Covid-19 yang sangat kuat pada tahun lalu. Belum lama ini, Managing Director IMF Kristalina Georgieva merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2022 seiring dengan peningkatan kasus strain baru omicron.

Sebelumnya, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,9 persen pada 2022, lebih kecil dari 2021 yang diproyeksikan tumbuh 5,9. Badan pendanaan yang berbasis di Washington, D.C., ini mengkhawatirkan sejumlah ancaman seperti penyebaran varian Covid-19 yakni delta, inflasi, serta kenaikan harga pangan dan bahan bakar.

Akibatnya, negara yang berpenghasilan rendah semakin tergerus akibat akses vaksin yang masih terbatas.

"Sepertinya kami akan melihat penurunan pada proyeksi [yang dirilis] Oktober untuk pertumbuhan global. [Strain virus corona yang baru] sangat cepat bisa mengurangi kepercayaan diri global," kata Georgiva dalam konferensi pada 3 Desember 2021.

Salah satu yang paling dikhawatirkan ekonom dunia adalah kenaikan harga bahan bakar yang tercermin pada proyeksi inflasi hingga 2 persen pada pertengahan 2022 setelah puncak akhir bulan pada tahun ini. Bahkan untuk negara berkembang kenaikan harga konsumen bakal mencapai 4,9 persen pada tahun depan, menurun dibandingkan 2021 yang mencapai 5,5 persen.

Negara dengan ekonomi terbesar seperti Amerika Serikat akan mengalami pertumbuhan lebih tinggi pada tahun depan hingga 5,2 persen dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,9 persen.

Georgiva juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kemampuan membayar utang, terutama bagi negara berpendapatan rendah yang disebut 60 persen di antaranya tengah menghadapi risiko tinggi dan kesulitan membayar utang.

"2022 akan menjadi tahun yang penuh dengan tekanan dalam kaitannya dengan utang," ungkapnya.

Sementara itu, Bank Dunia (World Bank) menyoroti kesenjangan pemulihan ekonomi antara negara maju dan berkembang. Lembaga keuangan yang berbasis di Wasington, D.C., ini mengharapkan sekitar 90 persen negara maju dapat kembali ke tingkat pendapatan per kapita sebelum pandemi pada 2022, hanya sekitar sepertiga dari negara berkembang dan negara miskin.

Akibatnya, mengejar pendapatan per kapita dengan ekonomi negara maju diperkirakan akan melambat atau bahkan berbalik arah di banyak negara miskin. Pemulihan diperkirakan akan berlanjut hingga 2022, dengan pertumbuhan global moderat menjadi 4,3 persen. Namun, PDB global diperkirakan akan tetap hampir 2 persen di bawah proyeksi pra-pandemi.

Kendati optimisme dunia masih terombang-ambing, lembaga think tank di London, Centre for Economics and Business Research (CEBR), memprediksi PDB dunia akan mencapai US$100 triliun pada 2022, dua tahun lebih cepat dibandingkan perkiraan sebelumnya yang didukung oleh pemulihan pandemi.

"Setahun yang lalu, kami berharap dampak ekonomi dari pandemi akan mereda dengan relatif cepat. Kami sekarang memperkirakan PDB dunia dalam dolar pada 2022 akan lebih tinggi daripada yang kami lakukan sebelum pandemi dan mencapai lebih dari US$100 triliun untuk pertama kalinya di tahun itu," seperti dikutip dari riset World Economic League Table 2021.

Meski terdorong oleh pemulihan, PDB global akan sulit terangkat jika inflasi masih menghantui. Bahkan, pembuat kebijakan akan sulit menghindari resesi.

"Isu penting untuk tahun 2020-an adalah bagaimana ekonomi dunia mengatasi inflasi. Kami berharap penyesuaian yang relatif sederhana pada anakan akan membawa elemen non permanen terkendali. Jika tidak, maka dunia perlu bersiap menghadapi resesi pada 2023 atau 2024," kata Wakil Ketua CEBR Douglas McWilliams seperti dikutip dari Bloomberg.

Lebih jauh, Bloomberg Economics memprediksi dalam satu dekade ke depan, ekonomi dunia diperkirakan tumbuh rata-rata tahunan sekitar 3,2 persen, sedikit di bawah rata-rata 3,5 persen pada periode 2010-2019, menurut Bloomberg Economics.

Di bawah angka utama itu, situasi di negara-negara ekonomi utama akan terus bergeser. China masih unggul, meskipun kecepatannya melambat karena beban utang, demografi, dan hambatan ruang untuk mengejar ketertinggalan.

Dibebani dengan populasi yang menua, ekonomi maju berada di jalur yang melambat, dengan pertumbuhan dalam dekade berikutnya diperkirakan rata-rata 1,6 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nindya Aldila
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper