Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investasi Melesat, Serapan Naker Susut, Ini Penyebabnya

Tren investasi sudah bergeser pada industri yang beralih pada ekosistem digital. Konsekuensinya, serapan tenaga kerja tidak optimal kendati nilai investasi yang masuk setiap tahunnya meningkat signifikan. 
Buruh mengangkat gula rafinasi ke lambung kapal di Pelabuhan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. /Antara
Buruh mengangkat gula rafinasi ke lambung kapal di Pelabuhan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. /Antara

Bisnis.com, JAKARTA — Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Yuliot Tanjung mengatakan susutnya serapan tenaga kerja di tengah kenaikan nilai investasi lantaran adanya pergeseran fokus penanaman modal. Yuliot mengatakan peningkatan investasi belakangan ini mengarah pada padat modal dan digitalisasi industri konvensional. 

“Tadinya kan investasi padat karya karena adanya keterbatasan sekarang sehingga investasi beralih pada padat modal, realisasi di pergudangan, perumahan itu kan relatif padat modal,” kata Yuliot melalui sambungan telepon, Kamis (25/11/2021). 

Yuliot mengatakan tren investasi sudah bergeser pada industri yang beralih pada ekosistem digital. Konsekuensinya, serapan tenaga kerja tidak optimal kendati nilai investasi yang masuk setiap tahunnya meningkat signifikan. 

“Kebijakan kita ke depan tetap mendorong industri-industri padat karya, kita masih tetap mengupayakan nilai tambah di dalam negeri itu berarti meningkatkan lapangan kerja,” tuturnya. 

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menerangkan terjadi penyusutan serapan tenaga kerja hingga 70 persen setiap tahunnya di tengah tren kenaikan investasi selama enam tahun terakhir. 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan kenaikan investasi itu bersifat padat modal dan mengarah pada digitalisasi industri padat karya. 

“Investasi naik dua kali lipat tapi jumlah penyerapannya menyusut 70 persen, dengan demikian Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia tidak efisien, banyak investasi yang masuk itu hanya dinikmati oleh sedikit orang,” kata Hariyadi saat menggelar konferensi pers, Jakarta, Kamis (25/11/2021). 

Menurut dia, investasi saat ini dihadapkan pada biaya investasi yang tinggi hingga lemahnya daya saing Indonesia terkait dengan penyerapan modal yang masuk. Hal itu bisa dilihat dari tingginya ICOR dalam negeri. ICOR menjadi salah satu parameter untuk menunjukkan tingkat efisien investasi di suatu negara.  

“Pada era 2015 hingga 2019, rerata ICOR Indonesia tercatat sebesar 6,5 persen atau lebih besar dari periode sebelumnya yang berada di kisaran 4,3 persen,” kata Hariyadi saat menggelar konferensi pers, Jakarta, Kamis (25/11/2021).

Dia menambahkan ICOR Indonesia pada tahun 2019 berada di posisi 6,77 persen atau naik dari capaian 2018 sebesar 6,44 persen. ICOR itu relatif tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam yang mendekati kisaran angka ideal sebesar 3. 

Selain itu, dia mengatakan, kondisi ketenagakerjaan Indonesia belum menunjukkan tren perbaikan. Menurut dia, penciptaan lapangan kerja relatif berat di tengah pandemi Covid-19. Misalkan tahun 2013, setiap Rp1 triliun investasi dapat menyerap mencapai 4.594 tenaga kerja. Akan tetapi, investasi setiap Rp1 triliun pada tahun 2019 hanya menyerap 1.438 orang. 

“Dikarenakan investasi lebih bersifat padat modal dan penggunaan teknologi yang menggantikan tenaga kerja di sektor manufaktur,” tuturnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper