Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Regulasi Belum Mendukung Pengembangan EBT di Dalam Negeri

Pengembangan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) masih mengalami sejumlah kendala, termasuk akibat dari kebijakan pemerintah.
Ilustrasi. Pembangkit listrik tenaga bayu./Istimewa
Ilustrasi. Pembangkit listrik tenaga bayu./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Pengembangan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) masih mengalami sejumlah kendala, termasuk akibat dari kebijakan pemerintah.

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan bahwa beberapa regulasi selama ini belum memberikan dukungan penuh untuk industri energi terbarukan.

Proyek energi terbarukan, diakuinya, masih sulit mendapatkan pembiayaan. Selain itu, perusahaan pengembang energi bersih harus menghadapi kebijakan pemerintah dalam menentukan harga jual listrik EBT.

“Energi terbarukan dihitung hanya 85 persen dari biaya pokok produksi [BPP]. Sementara itu, pembangkit utama listrik adalah 87–88 persen dari energi fosil,” katanya kepada Bisnis, Rabu (3/11/2021).

Kondisi itu, kata dia, tidak menciptakan keadilan atau fair treatment. Hal tersebut kemudian menurunkan minat investor untuk menanamkan modal pada industri itu. Pasalnya, harga komponen energi terbarukan masih terbilang mahal.

“Jadi, misalnya harga energi fosil tinggi seperti sekarang ini, harga energi fosilnya diberikan subsidi, tapi energi terbarukan tidak diberikan subsidi. Itu kan tidak fair treatment,” terangnya.

Sejumlah insentif sebenarnya telah diterbitkan pemerintah untuk mendukung bauran energi bersih, seperti tax allowance berupa pengurangan pajak penghasilan (PPh) selama 6 tahun, import duty facilitation berupa pembebasan bea masuk selama 2 tahun untuk mesin dan peralatan.

Kemudian pembebasan tambahan 2 tahun untuk bahan baku perusahaan yang menggunakan mesin dan peralatan lokal minimal 30 persen. Ada pula insentif fiskal berupa tax holiday.

Pelaku usaha pun diberikan keringanan pajak maksimal 100 persen pengurangan pajak penghasilan untuk investasi minimal Rp500 miliar selama 5–20 tahun.

Selanjutnya, mini tax holiday maksimal pengurangan pajak 50 persen untuk investasi Rp100 miliar hingga Rp500 miliar selama 5 tahun. Lainnya adalah insentif nonfiskal berupa insentif untuk biofuel oleh badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit.

Menurut Surya Darma, sederet insentif tersebut masih menyimpan tanya. Misalnya, insentif keringanan pajak selama 5 tahun, menurutnya, belum cukup.

Pasalnya, harga energi terbarukan belum ekonomis, sehingga memerlukan waktu lebih lama untuk mendapatkan keuntungan.

Sebab itu, METI mendukung pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Presiden tentang Pembelian Tenaga Listrik Energi Terbarukan oleh PT PLN (Persero) untuk mendorong pengembangan EBT.

“Dengan Perpres, itu akan memberikan sebuah kepastian, karena di situ akan ditetapkan harganya. Harga itu harus diambil oleh PLN, dan harus dibeli,” terangnya.

Seperti diketahui, sejumlah substansi akan dimasukan dalam Perpres tersebut. Beberapa di antaranya adalah kewajiban PLN membeli listrik dari PLT EBT. Mekanisme harga baik feed in tariff, harga patokan tinggi, dan harga kesepakatan.

Insentif fiskal dan nonfiskal untuk pengembangan EBT, serta pemberian biaya pengganti bagi PLN, apabila pembelian listrik EBT menyebabkan peningkatan BPP PLN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rayful Mudassir
Editor : Lili Sunardi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper