Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bahana TCW: Surplus Neraca Dagang Tarik Aliran Modal Asing ke Indonesia

Selama Januari hingga September 2021, dana asing masuk di pasar regular bursa saham Indonesia telah mencapai Rp40 triliun.
Sejumlah truk membawa muatan peti kemas di Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/2/2020)./ ANTARA - M Risyal Hidayat
Sejumlah truk membawa muatan peti kemas di Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/2/2020)./ ANTARA - M Risyal Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — PT Bahana TCW Investment Management menilai bahwa surplus perdagangan yang terjadi sejak 17 bulan terakhir membawa optimisme kembalinya aliran modal asing atau capital inflow ke Indonesia.

Chief Economist Bahana TCW Budi Hikmat menjelaskan bahwa surplus neraca perdagangan senilai US$4,37 miliar pada September 2021 membuat terjadinya rekor surplus terpanjang sejak 2011. Menurutnya, kondisi itu menjadi momentum untuk memacu reindustrialisasi, memperkuat daya saing bisnis, dan membuka kesempatan kerja. 

Bahana TCW menilai bahwa terdapat dua manfaat utama dari surplus tersebut. Pertama yakni adanya sentimen positif bagi surat berharga negara (SBN) karena penerimaan negara meningkat dan harga komoditas terus naik, sehingga supply risk SBN dapat turun dan memungkinkan yield tetap menarik.

Kedua, Budi menilai bahwa tingginya harga komoditas akan meningkatkan kinerja keuangan banyak perusahaan di bidang perdagangan, sehingga akan mendorong kinerja ekspor nasional. Kedua hal tersebut menurutnya dapat melandasi optimisme kembalinya capital inflow dana asing ke pasar modal Indonesia.

"Selama Januari hingga September 2021, dana asing masuk di pasar regular bursa saham Indonesia telah mencapai Rp40 triliun. Bahkan seminggu terakhir saja mencapai Rp4 triliun. Hal ini menandakan confident level investor global terhadap perekonomian Indonesia cukup tinggi," ujar Budi pada Senin (25/10/2021).

Menurutnya, untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi demi menarik minat investor, Indonesia harus belajar menghindari kekeliruan pasca super-cycle commodity booming pada 2000–2012. Saat itu, penguatan daya beli masyarakat yang ditopang kenaikan harga komoditas ekspor malah berakhir dengan pemburukan defisit neraca berjalan.

Melebarnya defisit neraca berjalan yang bersamaan dengan penguatan dolar AS memicu pelemahan rupiah. Hal tersebut memberikan sentimen negatif bagi investor asing sehingga Indonesia terpaksa harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan dana.

"Hal tersebut terjadi karena kita boros tidak memanfaatkan kenaikan pendapatan untuk hal yang produktif dan inklusif," ujar Budi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper