Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Antisipasi Penurunan Harga CPO & Batu Bara, Pelaku Ekspor Soroti Pasokan Bahan Baku Domestik

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno meminta pemerintah mengoptimalkan pasokan bahan baku dan penolong dari dalam negeri.
Seorang pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di dalam sebuah pabrik minyak sawit di Sepang, di luar Kuala Lumpur, Malaysia. / REUTERS - Samsul Said
Seorang pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di dalam sebuah pabrik minyak sawit di Sepang, di luar Kuala Lumpur, Malaysia. / REUTERS - Samsul Said

Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno meminta pemerintah mengoptimalkan pasokan bahan baku dan penolong dari dalam negeri.

Permintaan itu menyusul perhitungan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang memproyeksikan siklus komoditas akan berakhir di pertengahan 2023.

Benny mengatakan bahwa langkah tersebut mesti diambil untuk menjaga tren positif neraca dagang saat harga dua komoditas unggulan ekspor, seperti minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan batu bara kembali normal seiring dengan pulihnya pasokan global.

“Antisipasi agar kinerja ekspor tetap bertahan positif, yaitu memperbanyak bahan baku dan penolong, tidak mengimpor, tapi mengutamakan pasokan dari dalam negeri sesuai dengan kebijakan pemerintah bidang industri,” kata Benny melalui pesan tertulis kepada Bisnis, Jumat (15/10/2021).

Selain itu, Benny menuturkan, produk yang berpotensi menopang kinerja ekspor saat harga CPO dan batu bara kembali normal, di antaranya mebel, tekstil, sepatu, otomotif, pangan, minuman olahan, komponen industri otomotif, hingga barang elektronik.

Menurutnya, tren kenaikan harga CPO dan batu bara yang turut mengerek kinerja ekspor dalam negeri selama 17 bulan terakhir ditentukan oleh perubahan iklim dan dinamika politik antarnegara. Dua faktor itu telah memengaruhi pasokan komoditas antarnegara di tengah pandemi Covid-19.

“Produsen batu bara China tidak bisa maksimal karena banjir, kebutuhan batu bara ditutup dari impor, khususnya dari Indonesia, karena hubungan politik China dengan Australia mengalami gangguan, sehingga importasi batu bara China dari Australia juga dikurangi,” kata dia.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan bahwa pemerintah bakal mendorong ekspor produk besi dan baja untuk mengganti komoditas unggulan, seperti CPO dan batu bara.

Langkah itu diambil untuk menjaga tren positif neraca dagang saat harga dua komoditas unggulan ekspor dalam negeri itu kembali turun seiring dengan pulihnya pasokan global.

Supercycle itu biasanya antara 6 sampai 14 bulan, tapi kalau saat ini saya melihat paling cepat mungkin baru akhir tahun depan selesai, atau menjelang tengah tahun 2023. Jadi totalnya hampir 3 tahun,” kata Lutfi melalui sambungan telepon kepada Bisnis, Jumat (15/10/2021).

Lutfi beralasan, pertumbuhan ekspor dari industri besi dan baja mengalami pertumbuhan hingga lebih dari 95 persen. Artinya, kinerja ekspor Indonesia yang bertumpu pada CPO dan batu bara dapat mulai beralih ke produk besi dan baja.

“Untuk produk seperti sepatu dan garmen itu kan sudah biasa, ini kan baru industri besi dan baja. Kita juga punya aluminium dan alumina. Perhatian kami dua atau tiga tahun ke depan akan pada tembaga dan emas,” kata dia.

Menjelang 2023, dia menambahkan, komposisi unggulan ekspor dalam negeri bakal bergeser ke industri besi dan baja, menyusul proyeksi kembali normalnya harga CPO dan batu bara dunia saat itu.

“Sudah bisa digantikan dengan primadona-primadona baru ekspor nonmigas kita. Saya berharap bahwa aluminium dan alumina dapat membantu hilirisasi industri di masa yang akan datang,” kata dia.

Adapun nilai ekspor nonmigas pada September 2021 mencapai US$19,67 miliar, turun 3,38 persen jika dibandingkan dengan Agustus 2021.

Nilai ekspor ke China tercatat sebesar US$4,54 miliar, atau 23,10 persen dari keseluruhan ekspor. Di sisi lain, pangsa ekspor nonmigas ke India mencapai 6,28 persen atau US$1,23 miliar.

Neraca perdagangan Indonesia kembali mencetak surplus pada September 2021 seiring dengan menguatnya permintaan ekspor dan kenaikan harga komoditas. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan pada bulan tersebut mencapai US$4,37 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Lili Sunardi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper