Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dinilai Beratkan Rakyat, Fraksi PKS Tolak RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

PKS menyatakan tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen yang berlaku mulai 1 April 2022 dan 12 persen yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Ketua DPR Puan Maharani (kanan) didampingi Wakil ketua DPR Aziz Syamsuddin (kedua kanan) dan Rachmat Gobel (kiri) menerima dokumen dari Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri) pada Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020, di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020)./ANTARA FOTO-Muhammad Adimaja
Ketua DPR Puan Maharani (kanan) didampingi Wakil ketua DPR Aziz Syamsuddin (kedua kanan) dan Rachmat Gobel (kiri) menerima dokumen dari Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri) pada Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020, di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020)./ANTARA FOTO-Muhammad Adimaja

Bisnis.com, JAKARTA — Fraksi Partai Keadilan Sejahtera atau PKS menolak hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Ketentuan Umum Perpajakan, yang kemudian disepakati menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, karena tidak memenuhi prinsip keadilan dan memberatkan rakyat.

Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) Fraksi PKS Ecky Awal Munawar menjelaskan bahwa pihaknya memberikan catatan penolakan dalam pengambilan keputusan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan(HPP) di Komisi XI. Penolakan dilayangkan terhadap pengenaan pajak kebutuhan pokok, jasa pendidikan, pelayanan sosial, jasa kesehatan medis, dan lainnya.

“Di saat berbagai insentif dan fasilitas perpajakan diberikan kepada masyarakat berpendapatan tinggi, pemerintah justru terus mengejar sumber-sumber perpajakan dari masyarakat berpendapatan rendah. Sistem administrasi perpajakan yang tidak efisien terus menjadi permasalahan dalam pembangunan,” ujar Ecky pada Rabu (30/9/2021).

PKS menyatakan tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen yang berlaku mulai 1 April 2022 dan 12 persen yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Menurut Ecky, pihaknya mendorong agar tarif PPN maksimal tetap 10 persen.

Menurutya, kenaikkan tarif PPN akan kontraproduktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional. Hal tersebut karena sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri yang berupa konsumsi masyarakat, lalu PPN impor yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri.

"Artinya, kenaikkan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi perekonomian nasional,” ujar Ecky.

Fraksi PKS pun berpendapat bahwa penghapusan barang dan jasa yang tidak dikenai PPN, seperti barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan medis, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, serta jasa keagamaan akan membebani rakyat. Hal itu pun dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan dan perekonomian.

"Seharusnya barang dan jasa tersebut masih dikecualikan sebagai barang dan jasa kena pajak, sehingga barang dan jasa tersebut bukan menjadi objek PPN," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper