Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Utang Pemerintah Tembus Rp6.625,4 Triliun, Beneran Aman Gak Sih?

jika dilihat dari indikator lainnya, tingkat utang pemerintah telah memasuki fase mengkhawatirkan. Misalnya, rasio utang pemerintah terhadap cadangan devisa telah mencapai 148 persen.
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) saat mengikuti KTT Luar Biasa G20 secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (26/3/2020). KTT tersebut membahas upaya negara-negara anggota G20 dalam penanganan COVID-19. Biro Pers dan Media Istana
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) saat mengikuti KTT Luar Biasa G20 secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (26/3/2020). KTT tersebut membahas upaya negara-negara anggota G20 dalam penanganan COVID-19. Biro Pers dan Media Istana

Bisnis.com, JAKARTA - Utang pemerintah pada Agustus 2021 kembali meningkat menjadi Rp6.625,43 triliun. Dengan peningkatan tersebut, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) tercatat mencapai 40,48 persen.

Jika dilihat berdasarkan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang terhadap PDB tersebut masih berada di bawah batas aman 60 persen.

Namun, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan jika dilihat dari indikator lainnya, tingkat utang pemerintah telah memasuki fase mengkhawatirkan.

Misalnya, rasio utang pemerintah terhadap cadangan devisa telah mencapai 148 persen. “Rasio utang pemerintah sudah agak berat dari sisi cadangan devisa, dengan rasio 148 persen, saya kira situasi ini agak mengkhawatirkan,” katanya kepada Bisnis, Rabu (29/9/2021).

Tauhid menjelaskan, jika rasio-rasio utang tersebut terus meningkat, maka akan menimbulkan sejumlah risiko.

Pertama, peningkatan utang sejalan dengan defisit APBN yang meningkat akan berdampak pada tingkat inflasi.

“Akan berdampak pada inflasi jika defisit anggaran permanen, tidak bisa dipertahankan jauh lebih rendah,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui, defisit APBN melonjak signifikan di tengah pandemi Covid-19. Tahun ini, defisit APBN diperkirakan mencapai 5,8 persen dari PDB.

Tahun depan, pemerintah menargetkan defisit APBN turun ke level 4,85 persen. Penurunan tersebut guna mendorong kembalinya defisit anggaran ke level 3 persen pada 2023.

Dampak lainnya, kata Tauhid, adalah melonjaknya beban cicilan bunga utang pemerintah. Hal ini dikarenakan tingkat imbal hasil surat utang negara yang lebih mahal jika dibandingkan dengan negara lain.

Di samping itu, kenaikan utang pemerintah juga diperkirakan berdampak pada stabilitas nilai tukar rupiah. Jika porsi kepemilikan asing di SBN tinggi, maka berisiko terhadap nilai tukar rupiah.

“Memang [kepemilikan asing] sekarang sudah lebih rendah dibanding sebelum Covid-19. tapi kalau trennya lebih tinggi, maka akan berisiko,” tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa seluruh utang dan pinjaman yang ditarik pemerintah dikelola secara bertanggung jawab dan hati-hati.

“Perlu kita sikapi dan dijawab, serta ditunjukkan dengan bukti bahwa kita mengelola seluruh utang dan pinjaman secara bertanggungjawab, berhati-hati, dan berhasil guna,” katanya, Selasa (28/9/2021).

Pembiayaan Utang

Pemerintah dan Banggar DPR RI telah menyepakati pembiayaan utang pada 2022 sebesar Rp973,58 triliun.

Pembiayaan utang tersebut untuk mendanai defisit APBN 2022 yang diperkirakan mencapai Rp868,02 triliun, di mana belanja negara dipatok sebesar Rp2.714,16, sementara penerimaan perpajakan sebesar Rp1.510 triliun.

Pada kesempatan berbeda, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan bahwa ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan utang negara.

Selain rasio utang yang meningkat, belanja bunga utang pada pos belanja pemerintah pusat mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir.

Tercatat, pada 2014 proporsi belanja bunga utang mencapai 11 persen terhadap total belanja pemerintah pusat, namun pada akhir 2020 meningkat berada pada kisaran 19 persen. Yusuf mengatakan kenaikan ini dapat menekan belanja produktif pemerintah.

“Dalam kondisi tertentu, hal ini berpotensi menekan ruang belanja pemerintah yang lain yang sifatnya lebih produktif seperti misalnya belanja modal ataupun belanja subsidi,” katanya.

Lebih lanjut, Yusuf mengatakan pemerintah selama ini memang dapat mengelola rata-rata jatuh tempo utang dan risiko volatilitas dari penerbitan utang valas di level yang terjaga.

Namun, dia mengingatkan perlu menjadi perhatian pemerintah bahwa ketidakpastian dalam perekonomian masih cukup tinggi, termasuk setelah pandemi.

Apalagi, risiko tapering off dan kenaikan suku bunga acuan oleh the Fed berpotensi mengerek imbal hasil surat utang yang diterbitkan pemerintah.

Dia menambahkan, terdapat juga risiko dengan munculnya wacana peningkatan debt ceiling oleh Treasury Amerika Serikat, potensi risiko sistemik utang Evergrande, hingga munculnya varian baru Covid-19 yang berpotensi menghambat pemulihan ekonomi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper