Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Setelah 35.000 MW, PLN Hanya Tambah Pembangkit Listrik EBT

Penggunaan energi baru terbarukan (EBT) menjadi tren dunia. PLN menilai implementasi di Indonesia akan semakin mudah, seiring dengan menurunnya harga pembangkit EBT.
Penampakan udara Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sebira 400 kWp./Dok. PLN Enjiniring
Penampakan udara Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sebira 400 kWp./Dok. PLN Enjiniring

Bisnis.com, JAKARTA--PT PLN (Persero) menyatakan bahwa perseroan hanya akan menambah pembangkit listrik dari energi baru terbarukan (EBT) setelah program 35.000 megawatt (MW) rampung.

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan bahwa sampai akhir 2019, sebanyak 95 persen dari proyek 35.000 MW telah terselesaikan dalam tahap perencanaan dan kontrak. Saat ini, PLN tinggal menunggu penyelesaian pembangunan proyek 35.000 MW dan 7.000 MW dari fast track program (FTP) I.

Dari proyek 35.000 MW, kata Zulkifli, porsi pembangkit listrik EBT hanya sekitar 2.000 MW, sementara sisanya 33.000 MW merupakan pembangkit fosil.

"Kami akan lihat COD dari proyek-proyek ini yang akan masuk sekitar 12.000 MW dalam 5 tahun mendatang. Setelah ini selesai, penambahan energi listrik di waktu yang akan datang hanya akan berfokus pada EBT. Jadi komitmen PLN adalah setelah 35.000 MW selesai, kami hanya akan menambah ke dalam sistem kelistrikan Indonesia hanya dari EBT," ujar Zulkifli dalam acara media briefing, Jumat (7/5/2021).

Dengan pertumbuhan konsumsi listrik 4,7 persen per tahun, PLN memproyeksikan kebutuhan konsumsi listrik nasional dapat mencapai 1.800 terrawatt hour (TWh) pada 2060. Saat ini, kata Zulkifli, penjualan listrik PLN berada pada kisaran 250-300 TWh.

"Artinya, antara tahun ini dan 2060, Indonesia membutuhkan 1.500 TWh listrik yang harus dipenuhi dari EBT. Jadi potensi EBT di Indonesia luar biasa. Dari 300 TWh per tahun menjadi 1.800 TWh di 2060 atau 1.100 TWh di 2050," katanya.

PLN juga menyadari harga listrik dari EBT semakin murah dengan perkembangan teknologi yang cukup pesat. Zulkifli mencontohkan harga listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang tadinya berada pada kisaran US$10 sen per kWh, kini telah mampu mencapai kisaran US$5 sen per kWh. Dia berharap harga listrik dari EBT dapat terus menurun ke depannya.

Namun demikian, sebagian pembangkit EBT bersifat intermiten, seperti PLTS, yang tidak bisa beroperasi selama 24 jam. Oleh karena itu, pemanfaatan EBT masih perlu dikombinasikan dengan teknologi baterai atau dengan pembangkit lain yang bisa menjadi base load.

"PLTS itu jangan cuma dilihat US$5 sen-nya karena PLTS itu hanya 4 jam sehari. Jadi harus ada pembangkit lain yang merupakan base load untuk memastikan 20 jam ada listrik dan itu bisa energi primer lain, batu bara, dan lainnya. Bisa juga diisi dengan baterai," kata Zulkifli.

Dia mengakui bahwa pencapaian EBT belum sesuai harapan. Namun, PLN berkomitmen untuk mendukung pencapaian target EBT 23 persen pada 2025 dan net zero emission pada 2050. Selain menambah pembangkit EBT, PLN juga akan mendorong penggunaan kendaraan listrik dan kompor listrik untuk mencapai target-target tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper