Bisnis.com, JAKARTA - Kantor Riset Ekonomi Makro Asean+ 3 (AMRO) memperkirakan bahwa kawasan ini akan tumbuh 6,7 persen pada tahun ini dan 4,9 persen pada 2020. Asean+3 merupakan kelompok negara-negara Asia Tenggara dan tiga mitra yakni China, Jepang, dan Korea Selatan.
Tahun lalu AMRO memperkirakan ekonomi kawasan menyusut 0,2 persen. Laporan tahunan AMRO menyatakan perekonomian Asean+ 3 telah terbukti tangguh dalam menghadapi pandemi Covid-19, meski masih belum keluar dari masalah.
Wilayah yang merupakan rumah bagi 30 persen populasi dunia ini, secara kolektif hanya menyumbang 3 persen dari jumlah total kasus Covid-19 yang dikonfirmasi secara global. Namun, sampai kekebalan kelompok tercapai melalui vaksinasi yang meluas, penahanan virus secara lokal mungkin terus diperlukan.
"Saat pemerintah menjadi lebih berpengalaman dalam menangani infeksi, langkah-langkah terarah yang tegas, efektif, dan proaktif akan memungkinkan ekonomi untuk meminimalkan hilangnya nyawa lebih lanjut sambil memungkinkan kegiatan ekonomi berlanjut,” kata Kepala Ekonom AMRO Hoe Ee Khor, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (31/3/2021).
Dia melanjutkan, jalan menuju pemulihan penuh dengan tantangan, tetapi juga menghadirkan peluang. Beberapa segmen akan pulih dengan cepat, dengan perubahan haluan di bidang manufaktur dan ekspor serta adopsi teknologi baru, sedangkan yang lain akan tetap berada di bawah tekanan dan harus beradaptasi dengan realitas baru, maju, atau menemukan kembali diri mereka sendiri untuk bertahan hidup.
Sementara itu, prospek pekerjaan juga akan berbeda. Pekerja di industri jasa tatap muka tertentu, mereka yang dipekerjakan oleh usaha kecil dan di sektor informal menjadi yang paling rentan.
Baca Juga
Sementara sektor keuangan tampaknya berada pada jalur ganda. Pasar keuangan telah melonjak sejak kuartal pertama 2020, didukung oleh rangsangan kebijakan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan keberhasilan pengembangan vaksin. Pada saat yang sama, pandemi telah secara substansial melemahkan neraca sektor publik dan swasta.
Dukungan kebijakan yang belum pernah terjadi sebelumnya datang dengan mengorbankan utang publik yang lebih tinggi, sementara guncangan terhadap pendapatan rumah tangga dan bisnis telah memengaruhi kapasitas pembayaran utang mereka dan meningkatkan risiko kredit kepada bank, yang saat ini dibatasi oleh langkah-langkah penahanan regulasi yang diberlakukan.
Pembuatan kebijakan keuangan makro harus secara bertahap bergeser dari melindungi kehidupan dan mata pencaharian menjadi menjaga pemulihan yang inklusif dan berkelanjutan.
Kombinasi tindakan moneter, fiskal, dan keuangan berlangsung cepat, cukup besar, dan meluas pada 2020. Dengan perubahan haluan ekonomi, pembuat kebijakan telah mulai merencanakan transisi dari tindakan krisis yang luar biasa ini, diperkuat dengan peluncuran vaksinasi.
Dalam melakukannya, pembuatan kebijakan ekspansif yang bertahap, terkoordinasi, dan dikomunikasikan dengan baik akan sangat penting dalam menghindari dampak buruk yang tiba-tiba.
"Pemulihan sedang berlangsung tetapi sama sekali tidak dijamin. Jadi, lebih penting dari sebelumnya untuk memastikan bahwa momentum tidak goyah, ”kata Li Lian Ong, Kepala Grup Pengawasan Keuangan dan Regional.
Mengingat kedalaman dan jangkauan pandemi, beberapa kerugian produksi permanen akibat kerusakan ekonomi tidak akan terhindarkan, tetapi sektor manufaktur dan ekspornya akan tetap menjadi mesin utama untuk pertumbuhan di wilayah tersebut.
Selain itu, pandemi juga mengungkap kerentanan rantai nilai global (GVC), yang menimbulkan masalah signifikan saat penguncian pertama kali terjadi, tetapi kemudian memfasilitasi perputaran regional yang cepat ketika aktivitas ekonomi kembali berjalan.
“Asia masih menjadi salah satu kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dan kami tahu bahwa kedekatan dengan infrastruktur berkualitas tinggi, tenaga kerja terampil, dan pelanggan dengan daya beli, semuanya penting bagi GVC,” kata Khor.