Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investasi Industri Hasil Produk Tembakau Berbasis Riset Perlu Didorong

Insentif ke industri hasil produk tembakau lainnya (HPTL) dinilai bakal mendorong industri lain, semisal industri kimia, industri alat-alat kimia, sampai industri pengemasan.
Petani merawat tanaman tembakau jenis Mantili di lereng gunung Sindoro Desa Canggal, Candiroto, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (19/6/2020). Sebagian besar petani di kawasan lereng gunung Sindoro, gunung Sumbing dan gunung Prau saat ini menanam tembakau yang puncak panen rayanya akan berlangsung pada bulan Agustus mendatang. ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Petani merawat tanaman tembakau jenis Mantili di lereng gunung Sindoro Desa Canggal, Candiroto, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (19/6/2020). Sebagian besar petani di kawasan lereng gunung Sindoro, gunung Sumbing dan gunung Prau saat ini menanam tembakau yang puncak panen rayanya akan berlangsung pada bulan Agustus mendatang. ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia diharapkan mampu untuk mendorong kehadiran investasi industri hasil tembakau berbasis riset dan teknologi, seiring adanya rencana mengerek penerimaan cukai tembakau dan produk turunannya. 

Pasalnya, kontribusi penerimaan cukai dari industri hasil produk tembakau lainnya (HPTL) yang didominasi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) terus mengalami peningkatan. Pada 2020, penerimaan di tengah pandemi mampu mencapai Rp680,3 miliar, atau naik 60% dari posisi 2019 sebesar Rp426,6 miliar. 

Anggota Komisi XI DPR RI Willy Aditya menyerukan pentingnya solusi alternatif terhadap produk-produk tembakau yang berkontribusi besar terhadap pendapatan negara tersebut.

Apalagi dalam situasi pandemi seperti saat ini, industri HPTL juga terbukti masih tumbuh signifikan, sehingga perlu adanya insentif inovasi untuk pengembangan produknya agar dapat diterima publik.

“Harus fair menilai rata-rata pemasukan negara dari cukai tembakau juga besar, meskipun ada kritik terhadapnya. Makanya perlu ada insentif inovasi bagi industri olahan tembakau untuk pengembangan produk agar dapat diterima publik,” ujarnya, seperti dikutip Selasa (2/3/2021).

Menurut Willy, rantai pasok industri HPTL yang cukup kompleks, juga bisa menjadi peluang tersendiri bagi masuknya investasi lebih banyak.

Apalagi lanjut dia, kompleksitas insentif ke industri HPTL juga secara simultan bakal mendorong industri lain, semisal industri kimia, industri alat-alat kimia, sampai industri pengemasan.

Menurutnya, UU Cipta Kerja yang dihasilkan DPR bersama pemerintah bisa jadi sarana mendorong investasi di sektor industri tersebut, dengan menciptakan iklim investasi yang sederhana, mudah dan cepat, dan berperan aktif dalam menarik investor masuk ke tanah air. 

“Industri tembakau harus dilihat dengan lebih terbuka, kita harus jujur dan adil menilai realitas, termasuk dalam hal produk hasil tembakau ini. Karena tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat,” sambungnya. 

Pada sisi lain, Willy juga mengimbau agar pabrikan rokok, terutama yang besar dan memiliki sumber daya, untuk berinvestasi di industri HPTL.

"Karena selain berkontribusi pada penerimaan negara, produk HPTL pun memiliki dampak eksternalitas yang lebih rendah," ujarnya.

Sementara itu, Peneliti Indef Bhima Yudhistira mengamini bahwa industri HPTL memang bisa menjadi solusi alternatif mendorong investasi

Apalagi, lanjut dia, pemerintah tahun ini punya target yang cukup ambisius untuk merealisasikan investasi Rp900 triliun. 

“HPTL ini merupakan produk inovasi dengan risiko kesehatan yang lebih rendah, tidak heran jika pelaku usaha mau berinvestasi dan menyerap tenaga kerja karena peluangnya besar,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, untuk lebih mendorong perkembangan industri ini dan banyak yang melakukan investasi, pemerintah dapat memberikan insentif fiskal. Misalnya melalui kebijakan tarif cukai yang lebih rendah yang sesuai dengan risiko produknya. 

“Penyesuaian tarif cukai untuk HPTL saja akan sangat signifikan meningkatkan investasi di produk inovatif," ujarnya.

Oleh sebab itu, pemerintah sebaiknya memang membuka ruang diskusi lebih lanjut dengan pelaku usaha atau investor untuk merumuskan insentif apa yang cocok diberikan.

Sementara itu, saat ini produk-produk HPTL dikenakan sistem tarif cukai persentase (ad valorem) sebesar 57 persen dari harga jual eceran (HJE). 

Sistem ini berbeda dengan yang diberlakukan atas produk rokok konvensional yang menggunakan sistem tarif cukai spesifik yang lebih sederhana. 

"Skema ad valorem sejatinya dirasa memberatkan para pelaku industri HPTL. Terlebih, besaran tarif 57 persen itu merupakan yang tertinggi dalam UU Cukai dan lebih tinggi dari rerata persentase tarif cukai untuk rokok konvensional," ujarnya.

Padahal, produk-produk HPTL dan rokok elektrik memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. 

"Hal itu sudah dibuktikan oleh penelitian Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, pada 2015 dan 2018, serta diperbaharui pada 2020 yang menyatakan bahwa rokok elektrik memiliki risiko 95 persen lebih rendah dibandingkan rokok konvensional," ujarnya.

Kepala Seksi Tarif Cukai dan Harga Dasar I Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Putu Eko Prasetio, mengaku saat ini tengah mengkaji untuk mengubah sistem tarif cukai HPTL menjadi spesifik. 

“Sudah menjadi perhatian utama kami untuk menyamakan dengan tarif pada rokok konvensional yang spesifik. Ada wacana ke sana memang untuk mengubah bentuk tarif menjadi spesifik,” ujarnya  di sela webinar Universitas Trisakti terkait HPTL belum lama ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper