Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Stimulus PPN 0 Persen Luar Biasa, Bagaimana dengan Rumah Inden?

Pembebasan PPN untuk penjualan rumah tapak dan rusun dengan harga maksimal Rp2 miliar dan 50 persen PPN untuk harga Rp2 miliar hingga Rp5 miliar dinilai sebagai langkah luar biasa. Namun sayangnya, itu hanya berlaku untuk stok siap huni, sehingga tak menggarap potensi pembeli inden.
Ilustrasi hunian mewah./Bloomberg/Matthew Lloyd
Ilustrasi hunian mewah./Bloomberg/Matthew Lloyd

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah disarankan tidak membatasi pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hanya untuk rumah yang ready stock atau siap huni, karena hal itu tidak mengangkat potensi daya beli masyarakat lain yang ingin membeli properti secara inden.

CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan pihaknya menyambut baik kebijakan penghapusan PPN untuk rumah di bawah Rp2 miliar dan pengurangan PPN untuk rumah Rp2 miliar hingga Rp5 miliar.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 21/PMK/010/2021 yang mulai berlaku pada Senin (1/3/2021) hingga 31 Agustus 2021.

Pemerintah memberikan insentif relaksasi yang diberikan berupa PPN atas penyerahan rumah tapak dan rumah susun yang ditanggung oleh pemerintah selama 6 bulan untuk masa pajak Maret hingga Agustus 2021.

Adapun mekanisme pemberian insentif menggunakan PPN yang ditanggung pemerintah (DTP) dengan besaran 100 persen dari PPN yang terutang atas penyerahan rumah tapak atau rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp2 miliar.

Lalu pemberian insentif 50 persen dari PPN terutang atas penyerahan rumah tapak atau rumah susun dengan harga jual di atas Rp2 miliar sampai dengan Rp5 miliar.

Kebijakan ini, kata Ali, merupakan langkah luar biasa yang diambil pemerintah untuk menggerakkan ekonomi khususnya properti. "Ini akan berdampak luar biasa terhadap peningkatan pasar properti. Pasar properti diharapkan akan dapat memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional."

Menurutnya, kebijakan ini akan sangat membantu pengembang dalam meningkatkan penjualan di tengah pandemi Covid-19. Konsumen harus melihat ini sebagai momen untuk membeli properti karena mungkin tidak akan ada lagi pembebasan PPN.

Namun demikian, di sisi lain aturan yang ada hanya berlaku untuk rumah yang terbangun siap huni sampai batas waktu 31 Agustus 2021. Hal itu artinya pengembang harus segera membangun rumah yang terjual atau memang menjual rumah ready stock.

Dia menilai di luar rumah ready stock, ada yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah karena untuk membangun rumah di segmen tertentu dapat dilakukan dalam kurun waktu di bawah 6 bulan. Namun untuk rumah yang di atas Rp1 miliar, pembangunan rumahnya memakan waktu lebih dari 6 bulan dan tidak bisa dipaksakan selesai dalam waktu 6 bulan.

"Semakin lama masa penjualannya, maka semakin pendek jangka waktu pembangunan yang harus dikejar pengembang untuk membangun rumah," ucapnya.

Hal ini tentunya memberatkan para pengembang di tengah kondisi cashflow yang terganggu. Selain itu, ada batasan jumlah unit yang bisa terbangun sampai periode berakhir.

Jadi, lanjut Ali, kebijakan ini tidak dapat mengangkat potensi daya beli masyarakat lain yang ingin membeli properti secara inden.

“Harusnya pemerintah memahami hal tersebut di lapangan, dan tidak dibatasi aturan harus terbangun sampai 31 Agustus 2021. Karena ini dikhawatirkan menjadikan aturan ini tidak akan berjalan lancar ke depan dan hanya dinikmati oleh pengembang yang memiliki banyak rumah stok. Di sisi lain, penjualan properti inden pasti malah akan tertahan,” kata Ali.

Untuk diketahui, pemberian insentif PPN ini untuk rumah yang siap huni agar stok rumah akan menurun atau permintaan meningkat sehingga memacu kembali pembangunan rumah baru lagi. Kebijakan ini bukan semata-mata memihak pada kelompok menengah dalam pemberian rumah karena penghapusan PPN pun sudah berlaku untuk rumah subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Kebijakan insentif PPN rumah menengah ini berbeda dengan rumah subsidi yang tidak dibatasi periode 6 bulan.

Menurutnya, tujuan pemerintah dalam pemberian insentif untuk menghabiskan stok rumah yang ada sangat kurang tepat. Pasalnya, yang harus difokuskan pemerintah yakni potensi daya beli yang besar di masyarakat menengah untuk membeli rumah baru dan tidak dibatasi untuk rumah yang ready stock. Meski dampaknya luar biasa, tentunya hanya sebagian pengembang yang memiliki rumah stok yang diuntungkan.

"Jangan sampai memberikan kesan bahwa kebijakan ini masih setengah-setengah. Semestsinya tidak dibatasi hanya untuk rumah readystock. Paling tidak ada progres bangunan sampai batas akhir periode relaksasi," tutur Ali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper